dancing in the moonlight
sudah tiga puluh menit joe habiskan untuk berjalan yang entah kemana tujuannya.
niatnya ingin menghirup udara dengan bebas, terlalu penat akibat segala rutinitas kampus. dosen yang banyak mau, teman-teman yang sedang quality time bersama kekasihnya, sementara dirinya selalu menghabiskan waktu sendiri. jangan tanyakan apakah ia memiliki kekasih, ia tidak punya waktu untuk itu.
joe, mahasiswa tingkat tiga jurusan seni musik di universitas berlin. joe memegang cello sebagai instrumennya. sejak berada di sekolah menengah, ia memiliki passion dalam seni musik. ia aktif mengikuti kegiatan seni musik, suaranya yang khas, keterampilan dalam memainkan berbagai alat musik menjadi alasan mengapa dirinya memilih jurusan dan universitas saat ini.
sebelum ia tinggal di berlin untuk melanjutkan studi, sempat terjadi perdebatan sengit antara dirinya dengan keluarga. joe sudah bukan lagi anak kecil, ia ingin kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. ketika puluhan tanya dilontarkan kepadanya tentang alasan memilih jerman dan seni musik, ia menjawab, “saya ingin hidup mengekspresikan diri dalam berbagai seni musik.”
sebenarnya itu hanyalah satu dari alasan klise yang ia lontarkan. joe sejak lama ingin hidup sendiri. meski tercukupi secara finansial, joe juga tertekan secara emosional. betapa lelahnya hidup dalam konstruk sosial. seolah hidup terjerat dalam ranjau. ia juga manusia pada umumnya yang butuh rehat dari penat.
bermodalkan tekad dan nekat, joe memutuskan untuk pindah ke berlin dan hidup sendiri. kota dan negara yang terasa begitu asing, tidak ada satu pun rekan ataupun kerabat yang dikenal. benar-benar hidup merantau sendiri. namun, ia tidak pernah merasa keberatan baik itu dari segi finansial ataupun lingkungan sosial. joe pandai dalam beradaptasi, hanya saja terkadang ia merasa kesepian kala melihat rekan-rekannya menghabiskan waktu dengan yang terkasih.
joe berjalan sambil menikmati lagu dari playlist kesukaannya melalui earphone. tanpa terasa langit mulai tampak jingga dan waktu pada jam di tangannya menunjukkan pukul enam petang, sedangkan dirinya belum tahu persis kemana arah tujuan.
dalam jarak dua meter dari pandangannya tampak papan petunjuk yang biasa ditujukan bagi para wisatawan yang menyambangi kota berlin, namun tidak disangka berguna pula baginya. meski hampir setiap sudut kota berlin sudah pernah ditelusuri, joe hari ini berjalan dengan isi kepala penuh sehingga butuh diingatkan untuk rehat dari peluh.
pada papan tersebut tertera destinasi terdekat adalah mauerpark satu kilometer dari tempat ia berdiri. mauerpark merupakan taman yang biasa disinggahi oleh wisatawan maupun warga lokal di kota berlin. joe hampir saja melupakan fakta bahwa malam ini malam minggu, tentu saja mauerpark selalu menghadirkan berbagai macam pertunjukkan seniman dan musisi jalanan dengan box hitam andalan.
setelah menempuh jarak satu kilometer, joe akhirnya tiba di tempat tujuannya. ada puluhan pasang kaki berlalu-lalang, sebagian menghampiri kerumunan yang membentuk lingkaran.
joe berinisiatif menghampiri pusat atensi tersebut, dan syukurnya ia mendapat tempat paling depan, terima kasih kepada pria tua yang mengalah dan memberi celah padanya.
riuh semua orang menyambut pusat atensi itu. joe berlaku serupa, ditatapnya dengan lamat-lamat, tampan sekali pria itu. sang musisi jalanan memperkenalkan diri sebagai kevin moon.
malam itu, kevin dengan biola kesayangannya membawakan instrumen lagu dancing in the moonlight milik toploader. sungguh perpaduan yang sangat pas bagi para pasangan menikmati malam dengan nuansa penuh romansa.
joe menyusuri pandangan ke sekitar, semua orang terlihat bahagia. ada yang sedang berdansa dengan pasangan, ada pula yang hanya duduk menikmati suasana malam.
semilir angin menerpa surai hitam kevin, yang justru membuat personanya memikat hati tiap pasang mata yang menatap. sang violinist memainkan musik dengan khidmat. jari-jari panjang dan lentiknya tersemat sempurna pada stik biola yang ia gerakan sesuai dengan tiap bait nada. sungguh malam yang sempurna bagi mereka yang sedang dimabuk asmara.
dibawah sinar rembulan, joe bersumpah bahwa ini kali pertamanya menaruh atensi kepada seseorang. paras rupawan sang violinist terpatri jelas dalam memorinya. karena selama ini, ia berpikir bahwa kisah cinta romansa hanyalah fiksi belaka.
namun kevin tahu, sejak awal ia berada ditengah pusaran manusia yang menikmati pertunjukannya itu, ada sepasang manik berwarna cokelat muda tidak berhenti menatapnya dalam.
tepat satu minggu sejak pertemuannya itu, joe memutuskan ke mauerpark. berharap agar ia bisa bertemu kembali dengan sang violinist dengan paras rupawan yang telah mencuri fokusnya belakangan ini.
waktu menunjukkan pukul delapan malam, semua orang tampak menikmati pertunjukan musik dari musisi lain. namun, sosok yang ditunggu belum tampak batang hidungnya. tumben sekali, pikir joe. menurut info yang ia dapati, sang violinist tidak pernah melewatkan satu hari pun menampilkan pertunjukan musik.
“ah, sepertinya lain kali saja. mungkin dia berhalangan hadir karena ada keperluan,” namun sebelum melangkahkan kaki untuk pulang, bahunya ditepuk oleh salah satu pengunjung dan memberikannya secarik sticky note berwarna merah muda bertuliskan:
“kamu ingin bertemu denganku? datanglah ke taman. aku akan menunggumu dalam lima menit.
– kevin moon.
tanpa ada ragu, joe berlari secepat mungkin menuju taman untuk menemui sang pujaan hati.
dari kejauhan, tampak kevin tengah duduk di bangku taman.
joe menyapa kevin, “sudah lama menunggu?”
kevin melirik jam tangan kemudian memamerkan senyum paling manisnya, “kamu datang tepat waktu. sini duduk.”
gugup sedari tadi joe redam mati-matian, ia melangkah ragu dan duduk di sebelah kevin. “uhm...kamu, bagaimana tau kalau aku mencarimu?”
*“semua orang juga bisa menebak kalau kamu mencariku.” katanya. *“lagipula aku sudah tau sejak kali pertama kamu melihatku.”
semburat rona merah muda pada pipi dan telinga joe membuat kevin terkekeh pelan.
“kamu manis sekali.” kevin mengulurkan kedua tangan, “oh iya, perkenalkan namaku kevin moon, kamu boleh memanggilku kevin.”
“a-aku kim joe, panggil saja joe.”
“hey, kenapa kamu gugup? santai saja aku jinak, kok.”
“habisnya kamu tampan sekali.” joe bergumam pelan, namun indera pendengaran kevin tajam.
“kamu juga tampan. kalau dari nama kamu, sepertinya kamu bukan penduduk asli disini?”
“iya, aku berasal dari korea selatan. uhm, sebenarnya namaku kim sunwoo. nama joe pemberian dari bunda supaya mudah diucapkan.”
“kalau begitu kita berasal dari negara yang sama.” kevin terdengar antusias, jarang sekali ia bertemu dengan orang dari negara asalnya.
“sepertinya kamu orang ke lima yang aku kenal dari negara yang sama, selain teman satu jurusan.”
“ah, begitu...” kevin mengangguk.
“kevin, kamu ada pertunjukan malam ini?”
“malam ini aku datang sebagai pengunjung.”
joe mengangguk, “kalau begitu, malam ini kamu bisa menemaniku jalan-jalan sambil ngobrol?”
“tentu saja.”
kevin mengeluarkan dua kaleng bir dari kantung plastik. kevin memang sengaja membeli dua karena pertemuan keduanya merupakan rencana kevin. satu kaleng bir diberikan kepada joe, “terimakasih.”
keduanya memutuskan untuk berkeliling menyusuri tiap sudut mauerpark. menikmati suasana malam sembari melihat beberapa bangunan dengan infrastruktur kuno khas eropa yang ciamik.
“joe, kalau boleh tahu apa alasan kamu memutuskan untuk tinggal di Berlin?”
“sebenarnya aku memang ingin kuliah disini. aku mengambil jurusan seni musik supaya bisa belajar berbagai jenis musik. musik adalah caraku berekspresi. rasanya menyenangkan ketika musik yang aku ciptakan disukai pendengar, seolah segala penat yang aku curahkan dalam musik bisa tersampaikan dengan baik.”
kata demi kata yang membentuk kalimat dilontarkan joe, kevin dengar dengan penuh perhatian. joe terlihat sangat tampan ketika berbicara tentang apa yang ia sukai. joe seperti magis yang mampu menyihirnya. kevin lupa fakta bahwa malam ini kali pertama keduanya berbicara, namun kevin sudah jatuh terlalu dalam.
“kamu bagaimana bisa tinggal disini?”
“aku sejak umur dua belas tahun tinggal disini. aku ikut kedua orangtua yang menjalani bisnis disini.”
“kamu sudah bekerja atau masih kuliah?”
“aku baru lulus tahun ini, jurusan psikologi.”
“astaga, aku kira kamu jurusan seni musik, dilihat dari lihainya kamu memainkan biola.”
“aku belajar biola sejak usia sepuluh tahun. sebenarnya niatku berbeda dengan musisi jalanan lainnya. mereka bekerja demi sesuap nasi, sedang aku butuh validasi. setiap malam minggu aku sengaja tampil untuk menghibur diriku dan orang-orang disini. ketika aku bermain musik, seluruh perhatian tertuju padaku. aku suka diperhatikan.”
malam itu, joe terpana melihat sosok yang dalam beberapa hari mampir dalam ingatan. siluet kevin dibawah cahaya rembulan bak mahakarya sempurna yang akan selalu ia puja.
keduanya berbincang mengenai banyak hal. tentang hewan peliharaan yang amat disayangi, hobi, makanan kesukaan, pengalaman selama hidup di berlin, dan perihal lainnya.
kevin melirik jam di tangannya, “sepuluh menit lagi akan ada pertunjukan. ayo kita kesana.”
kevin menarik pergelangan tangan joe tanpa permisi, dan joe hanya mengikuti.
keduanya telah tiba di tempat pertunjukan musik dan tari. setiap malam minggu mauerpark menyuguhkan berbagai pertunjukan seni. biasanya mulai pukul delapan malam musisi jalanan memainkan berbagai macam alat musik seperti biola, cello, gitar, keyboard, dan lainnya. semua orang menyanyi bersama, berdansa, bahkan sekedar duduk menikmati pertunjukan.
sang musisi memperkenalkan diri sebagai arthur dan memberitahukan bahwa ia akan memainkan instrumen lagu dancing in the moonlight milik toploader.
“aku jadi teringat lagu ini yang membuatku terpana waktu kamu memainkannya dengan biola.”
“lain kali aku pengen lihat kamu mainkan lagu ini, boleh?”
“aku belum pernah membawakan lagu ini menggunakan instrumen cello. nanti aku coba.”
kevin mengangguk antusias, alibinya berjalan sesuai rencana agar bisa bertemu kembali.
“joe, mau menari bersamaku?”
“aku ragu. sepertinya aku lupa bagaimana cara menari.”
“kapan kamu terakhir menari?”
“saat usiaku lima belas tahun. sepertinya tubuhku sudah mulai kaku.”
“kamu suka menari?”
“suka sekali.”
“lantas, mengapa berhenti?”
“keluargaku melarang laki-laki dalam keluarga menari. mereka bilang bahwa menari hanyalah untuk perempuan.”
ingatan pilu itu masih tergambar dengan jelas dalam pikirannya. kala itu usianya genap lima belas tahun, masa-masa remaja yang ingin mengeksplor segala hal. pertama kali ia melihat adik perempuannya menari dengan cantik, terbesit dalam pikiran joe “bagaimana jika suatu saat dirinya menjadi penari hebat?”
joe sempat membicarakan perihal keinginannya ikut les yang sama dengan adiknya, namun ayah menentang keras. “laki-laki itu harus melakukan kegiatan yang maskulin, agar dianggap laki-laki sejati. ayah tidak akan membiarkanmu menari.”
bukan joe jika menuruti aturan keluarga. diam-diam ia menyisihkan sebagian uang untuk mendaftar les menari.
setelah dua bulan joe belajar menari, keterampilannya diberi acungan jempol dan sambutan meriah dari sang tutor. “joe, saya bangga sama kamu. kamu hebat bisa begitu lancar menari dalam waktu dua bulan.”
sepulang menari, joe disambut dengan tatapan sinis ayah di depan pintu, “bukankah ayah sudah bilang, kalau laki-laki itu tidak boleh menari. kamu itu bukan perempuan. kalau kamu masih mengikuti les menari itu, ayah akan memindahkanmu ke sekolah lain.”
joe umur lima belas tahun tidak mendapatkan kesempatan untuk meraih mimpi.
“tidak apa-apa, biarkan tubuhmu menari mengikuti intuisi. lagipula menari bukan untuk menunjukkan kehebatan tetapi untuk menghibur diri.”
ajakan kevin dijawab dengan dua kali anggukkan ragu dari joe. joe ingin keluar dari zona amannya. mungkin kesempatan ini hanya sekali dalam hidupnya.
perlahan musik dimainkan, pengunjung mulai menikmati suasana. lagu dancing in the moonlight memang sempurna sebagai pengiring tari dibawah cahaya rembulan.
we get it almost every night when that moon is big and bright it's a supernatural delight everybody's dancing in the moonlight
kevin mengulurkan tangan, “you can do it, joe. trust yourself.”
joe memegang tangan kevin, kemudian tangannya memeluk pinggang kevin.
proporsi tubuh kevin yang ramping membuat tangan joe terlihat sempurna kala merengkuhnya. sementara tangan kevin melingkari leher joe.
“aku yakin ingatanmu masih menyimpan bagaimana gerakan menari yang dulu kamu suka. disini, tidak akan ada yang menghujatmu. kita semua manusia, lelaki atau perempuan berhak untuk mengekspresikan diri dengan cara sendiri. biarkan musik menuntun tubuhmu untuk menari.”
indera pendengaran joe menangkap afirmasi itu dengan baik, menstimulasi otaknya untuk mengikuti kata hati.
everybody here is out of sight they don't bark and they don't bite they keep things loose they keep it tight everybody's dancing in the moonlight
dancing in the moonlight everybody's feeling warm and bright it's such a fine and natural sight everybody's dancing in the moonlight
perlahan kaki joe bergerak ke kanan, kemudian ke kiri mengikuti insting dan irama musik. sempat beberapa kali joe hampir jatuh, namun joe tidak menyerah.
“maaf kevin, gerakanku terlalu kaku.”
tatapan mata kevin yang hangat tidak mau berpaling barang sedetik pun.
“gerakanmu indah sekali, joe. aku tidak menyesal meyakinkanmu untuk menari denganku.” lagi, kevin menghujani joe dengan banyak pujian membuat jantung joe berdegup cepat.
ada banyak hal yang tidak joe sangka. kevin membuatnya merasakan banyak hal untuk pertama kali dalam hidup.
we like our fun and we never fight you can't dance and stay uptight it's a supernatural delight everybody was dancing in the moonlight
perbedaan tinggi diantara keduanya terpaut beberapa sentimeter, memudahkan joe untuk menempelkan dahinya pada dahi kevin.
dancing in the moonlight everybody's feeling warm and bright it's such a fine and natural sight everybody's dancing in the moonlight
mata keduanya saling mengunci, sudut bibir yang tertarik melengkung melawan gravitasi, sama-sama menikmati momen yang belum tentu bisa datang kembali.
musik telah berhenti, diikuti riuh tepuk tangan dari seluruh pengunjung.
sementara dua insan itu masih tetap pada tempatnya, “terimakasih kevin, kamu orang pertama yang membantuku mengembalikan kepercayaan diri untuk menari.”
“dan aku benar-benar terpukau akan gerakanmu. kamu menari begitu indah, lain kali mau ajari aku?”
“hey, seharusnya kamu yang mengajariku. tubuhku kaku, tidak seperti tubuhmu bergerak lentur. buktinya aku beberapa kali hampir jatuh.”
kevin terkekeh, mungkin pujiannya terdengar hiperbola, tapi benar adanya.
“kalau begitu, lain waktu kita belajar menari bersama, mau?”
“berarti kita punya kesempatan untuk bertemu lagi?”
“memangnya kamu tidak mau bertemu denganku lagi, joe?”
“bukan begitu..” joe menggigit bibir, ia gugup.
“santai, joe. aku paham maksudmu.” kevin menahan senyum, lucu sekali, pikirnya.
keduanya memutuskan untuk tidak pulang ke rumah masing-masing, menghabiskan waktu bersama hingga fajar menampakkan sinarnya.
does the sun promise to shine? no, but i will- even behind the darkest clouds, and no promise will make it shine longer or brighter for that is its fate, to burn until it can burn no more. to love you is not my promise but my fate- to burn for you until i can burn no more
—love, her, wild by atticus
teruntuk kalian yang punya mimpi namun tidak sempat digapai, asa yang pernah sirna tidak membuatmu menjadi orang yang gagal. mungkin memang belum jalannya, atau Tuhan punya rencana yang jauh lebih baik.
teruntuk kalian yang hampir menyerah, terimakasih sudah bertahan meski bersusah payah.
teruntuk kalian yang mencinta, perasaan kalian itu valid. tidak ada yang salah dengan menaruh rasa pada seseorang.
seiring berjalannya waktu, kita akan paham bahwasanya menjadi berbeda tidak berarti salah. menjadi orang yang tidak sama seperti pada umumnya, bukan berarti hak untuk hidup dibiarkan redup.
kamu punya otoritas untuk memilih jalan hidup sendiri.
teruntuk kalian semua terimakasih telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini.
segala bentuk feedback yang kalian beri sangat saya apresiasi.
semoga hal-hal baik selalu menyertai!
salam penuh cinta, siska.