Give You What You Like
Perth duduk sembari menyilangkan satu kakinya untuk bertumpu diatas kaki sebelahnya pada sofa berwarna monokrom yang letaknya berada di ruang tamu. Tatapan remeh ia layangkan kepada sang kekasih yang dalam keadaan tidak tertutup sehelai benangpun.
Keadaan mark saat ini bisa dibilang, kacau. Manik mata yang sayu, rambut basah acak-acakan akibat peluh yang sedari tadi ia rasakan, Kini posisi mark sedang bertekuk, meminta belas kasih kepada sang kekasih.
“Tadi kakak minta apa?”
“Gue...g-gak tahan lagi.”
Perth kembali menaikkan frekuensi getaran vibrator menjadi dua tingkat lebih cepat dari sebelumnya yang terpasang dengan sempurna pada anal mark.
“AA-AKHH...PERTH!”
“kakak tau ga? kelakuan kakak bikin batas kesabaran gue hampir habis.”
Shit. Ia sudah tidak sanggup lagi akan siksaan yang diterima. Dalam hati sudah mengumpat dengan berbagai macam bahasa. Rasa takut menyelimuti dirinya, barangkali salah ucap sepatah kata yang justru membuatnya kian menderita. Maka opsi terbaik yang dapat ia lakukan saat ini menggigit bibirnya sekuat mungkin untuk menahan diri.
“Cih, mana yang tadi minta dikontolin? Baru dikasih segini aja diem?”
Persetan dengan rasa malu, malam ini mark akan menjadi dirinya sendiri—berlutut memohon kepada sang dominan bagaimanapun caranya untuk memberinya nikmat hingga mencapai puncak.
“Perth, gue mohon banget. Gue mau dienakin, mau rasain kontol lo ada di mulut gue, mau rasain diewe sampe tolol.”
Perth tersenyum puas. Ia mulai mematikan vibrator pada remote kontrol. Memang harus seperti ini untuk membuat sisi asli kesayangannya itu muncul ke permukaan.
“Nyadar gak kak, kelakuan lo udah kayak lonte yang haus afeksi. Padahal sering gue kontolin, tapi sekarang malah ngemis-ngemis sambil berlutut kayak gini.” Ada jeda beberapa detik, “hmm... gimana ya kalau orang-orang liat kelakuan asli seorang Mark Siwat Jumlongkul, yang disegani banyak orang ini, ternyata sekarang mohon mohon sambil berlutut, pasang muka melas karena minta diewe? Malu ga kak?”
Mark menelan saliva dengan susah payah. Seiring kata demi kata hinaan yang diucapkan oleh perth—justru membuatnya semakin turn on. Otaknya bahkan tidak dapat mencerna dengan baik bagaimana jawaban yang tepat atas pertanyaan yang dilontarkan Perth.
“Gue udah ga perduli kalau oranglain harus tau sisi gue yang begini. GUE. CUMA. BUTUH. KONTOL. LO. SEKARANG. JUGA.” Ucap mark penuh penekanan. Hampir saja ia putus asa karena dipermainkan seperti ini.
Perth tertawa remeh sembari menepuk kedua tangannya, mengapresiasi keberanian kekasihnya.
“Wow...keren banget kak siwat. Coba dari tadi ngomong kayak gini, pasti udah gue kasih kontol gue buat diperlakukan sesuka hati.”
Mark mendengus kesal, “jadi kesimpulannya, gue boleh gak sih nyepongin lo?”
“Jangan ngambek dong cantik. Kakak sekolah udah berapa tahun masa ga tau gimana cara minta yang baik dan sopan?”
Pikiran mark mulai menyusun kata demi kata yang tepat agar mendapat lampu hijau dari sang dominan. “ah, iya praise kink.”
“Perth kesayangan kakak, boleh ga kakak isep dan emut kontol lo? Soalnya kakak udah kangen banget sama perth junior jagoannya kakak. izinin kakak dong, ya?” tangan mark mengusap pelan milik perth dari balik celana jeans yang dikenakan.
Shit. Perth mengakui bahwa mark paling tau titik kelemahannya. Ia suka dipuji. Ditambah lagi, melihat wajah memelas dan tatapan sayu mark yang membuatnya semakin ingin mengisi lubang mark hingga penuh sembari mendesahkan namanya dengan suara yang candu.
Tanpa menunggu jawaban, ia hendak membuka kain yang menutupi milik perth namun dicegah dengan cekatan.
“Gue belum kasih lo izin! Siapa yang nyuruh lo buka celana gue pake tangan. Usaha dong yang bener, pake mulut coba!”
Brengsek, perth memang handal dalam urusan mengulur waktu dan menguji kesabarannya. Namun, perintah tetaplah perintah. Ia sangat suka didisiplinkan seperti ini. Suka kala perth memberi intruksi yang tak terbantahkan. Meski sudah mulai jengah, ia akan tetap menjalankan intruksi sang dominan.
Sang dominan merubah posisi menjadi berdiri. Dibiarkannya sang submisif—lonte kesayangannya itu, mengerahkan seluruh upaya.
Mulut mark mendekat pada bagian kancing, giginya berusaha keras untuk melepas kaitan tersebut sambil mendongak tanpa mengalihkan tatapan sensualnya kepada perth.
Kalau kalian kira disini hanya mark yang berusaha mati-matian, kalian salah besar.
Justru disini Perth juga merasakan hal yang sama. Oksigen yang ia hirup bahkan lebih banyak daripada mark. Ia sejujurnya tidak tahan lagi, terlebih melihat kekasihnya itu memohon dengan tatapan sayu nan menggoda. Hasrat yang ia pendam mati-matian itu karena jiwa dominan membuatnya ingin bermain-main sedikit lebih lama. Toh, tidak ada salahnya melihat sisi binal seorang mark?
Dilihatnya bagaimana sang submisif bersusah payah. Beberapa kali ia dapati gigitan mark terlepas dari pengait. Kasihan, sekali. Lucunya, tetap saja ia suka menyiksa kekasihnya.
“Ah, payah. Masa buka kancing sama resleting doang gak becus. Semangat diewe doang, ya kak? Giliran disuruh usaha dikit kayak ogah-ogahan. Niat gak sih gue ewe sampe tolol, hm?”
Perth Tanapon dengan mulut iblisnya. Ia kira membuka pengait dengan mulut adalah perkara mudah? Anehnya, mark suka. Suka didisiplinkan, suka didominasi, suka jika harga dirinya diinjak-injak oleh perth. Ia semakin gigih untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Tak berapa lama, kancing dan resleting pun ia buka dengan gerakan sensual. Tak hanya itu, mark juga menurunkan sedikit jeans dan celana dalam dengan menggunakan giginya.
Milik Perth yang sedari tadi terasa sesak dalam balutan kain itu akhirnya tampak menegang dengan sempurna, seolah tidak sabar ingin segera merasakan dijamah oleh mulut mark.
Kini, giliran mark yang bermain. Dikecupnya ujung penis perth, lidahnya bergerak menggoda disetiap bagian penis, dihisapnya dengan kuat ujung pangkal itu.
“Nghh—ahhh....” Lenguhan tak sanggup perth bendung.
Setelah puas bermain dengan ujung pangkal penis, mark memasukkan sepenuhnya bagian milik perth hingga mulutnya terasa sesak. Ia sempat berpikir bahwa ukuran penis kekasihnya itu kian hari kian bertambah.
Tangan sebelah kanan menjambak rambut mark sambil menggerakkan kepalanya agar penisnya masuk hingga ke rongga mulut terdalam. Sementara tangan kirinya bertumpu pada ujung sofa karena takut dirinya limpung menahan nikmat.
Mulut yang diisi oleh penis itu mulai bergerak teratur maju mundur. Semakin sering ia mendengar lenguhan nikmat sang dominan, semakin ia merasa tertantang untuk memberi nikmat yang mampu membawanya terbang ke langit. Gerakan maju mundur itu dipercepat hingga penis perth terasa sesak pada tenggorokan mark. Sakit dan sesak, itu yang dirasakan oleh mark. Namun, ia pantang menyerah sebelum diberi intruksi untuk menghentikan permainannya.
“Ahhh—so good. Ternyata mulut lo selain bisa dipake ngedesahin nama gue, jago juga dipake buat nyepong.”
Bagian selatan mark kian menegang dan terus-menerus mengeluarkan cairan precum acap kali perth melontarkan kalimat rendahan. Hasrat dalam dirinya menggebu-gebu, seperti nyala api yang disiram bensin.
Gerakan mulutnya mulai melemah, oksigen yang ia hirup sangat terbatas. Jika ia berhenti, maka sia-sia usahanya untuk disetubuhi oleh Perth.
“Nghhh, kak i'm close...”
Kepalanya ditahan oleh tangan perth, kini yang bergerak hanyalah pinggul perth dengan hentakkan kasar hendak mencapai puncak. Pada hentakan ketujuh, Perth mencapai puncaknya.
Baru saja hendak mengeluarkan milik Perth dari mulutnya, sang pemilik justru menahan kepalanya.
“Telen semua, jangan sampe ada sisa.”
Lagi-lagi intruksi tak terbantahkan. Ia menelan habis cairan cum yang keluar dalam mulutnya. Dikeluarkannya milik Perth, buru-buru menyesap oksigen yang sedari tadi ia damba. Tangannya mengusap leher yang terasa sakit.
Setelah mengambil jeda untuk menetralisir diri, perth mendongakan dagu mark. Tatapannya fokus pada manik sayu yang sungguh selalu mampu membuatnya merasa naik lagi.
Dikecup, dijilat, dikulumnya bibir ranum milik mark. Rasanya selalu sama, manis. Lumatan yang semula perlahan, justru kian memanas. Lidah yang saling bertautan hingga membentuk benang saliva, bibir mark yang digigit pelan diselingi tawa keduanya. Benar-benar khas kedua insan yang tengah dimabuk asmara.
Keduanya melepas tautan bibir untuk menghirup oksigen susah payah. Menempelkan kening sambil tersenyum dan saling memberi afeksi.
“Sekarang coba lo nungging ke arah gue!”
Yang diberi titah menurut patuh. Bokong sintal mulus tanpa cela itu ditampar dengan keras secara bergantian, kanan-kiri-kanan-kiri hingga membentuk bekas merah berbentuk telapak tangan.
“A-AKHHH...S-SAKITT!!!”
“Ngeluh sakit, tapi suka kan lo gue tampar kayak gini?”
Mark menggigit bibir sambil mengangguk cepat. Ia tidak bisa berbicara dengan benar saat ini. Agenda yang saat ini Perth lakukan adalah meremat pelan kedua bongkahan bokong yang indah, mencabut vibrator yang sedari tadi mengisi penuh lubang favoritnya.
“Padahal lobang lo udah gue masukin vibrator gede, loh. Tapi, kenapa pas gue cabut vibratornya lobang lo kedutan seolah-olah pengen langsung rasain kontol gue masuk terus genjot lo sampe mampus?” Ucap Perth dengan nada menggoda.
“Mau...mau kontol lo masuk di lobang gue. Vibrator itu gak sebanding sama enaknya ngentot pake punya lo.” Rengek mark, suaranya sarat akan hasrat namun beginilah jika Perth yang mendominasi. Ia akan dituntut untuk selalu memohon, mengemis-ngemis.
**”
Lubang anal yang tampak berwarna merah muda nan menggoda itu diusap pelan dengan jarinya. Perth mendekatkan mulutnya, memainkan lidah dengan gerakan memutar disekitar lubang. Kemudian lidah Perth masuk ke dalam lubang yang sudah meregang itu, bergerak mengobrak-abrik kewarasannya hingga mencapai titik paling tidak waras.
“Mmhh..Perth. p-please.”
Mark tidak bisa berhenti merapalkan nama Perth seiring lenguhan. Tangan mark saling bertautan dan meremas kuat hingga memerah. Matanya terpejam dan kepalanya mendongak, pertanda bahwa ia sangat menikmati sensasi aneh yang terasa seperti disetrum aliran listrik.
“Kak siwat kalo sekarang gue ewe sampe tolol, kakak mau gak?”
“M-mau...diewe sama apon, please? Pake gue sepuasnya. Ancurin gue pake punya lo.”
Perth tidak kuasa lagi menahan diri, ditariknya mark menuju ke depan cermin yang letaknya berjarak dua meter dari sofa tempat mereka melakukan aktivitas sedari tadi.
Posisi tubuh mereka menghadap ke arah cermin, perth memandangi kekasihnya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan takjub. Ada banyak tanya yang muncul dalam pikirannya, bagaimana bisa tuhan menciptakan manusia seindah ini?
“Perth? Kita beneran mau lakuin disini?” Tanya mark sambil menghadap ke arah perth.
“Emangnya kenapa? Lo gak mau, kak?”
“Gue, malu.” Ucap mark sambil menundukkan wajahnya.
Perth yang merasa geram, membalikkan badan mark dalam satu gerakan untuk kembali menghadap ke arah cermin. Dagu kekasihnya dicengkeram, dipaksa mendongak menatap cermin.
“Buka mata lo. Kenapa mesti malu? Gue pengen ngewein lo didepan cermin, pengen liat lo ngedesahin nama gue, liat lo berantakan karena genjotan gue. Gue pengen lo tau, kalo gue merasa beruntung karena lo milik gue.”
Intonasi yang terdengar dari setiap kata yang Perth ucapkan sangat mengintimidasi, namun membuatnya merasa—hangat. Hal yang paling ia sukai adalah bagaimana perth selalu bisa membuatnya merasa bahwa dirinya beruntung memiliki sosok yang selalu memberinya cinta begitu banyak. Ia merasa hidupnya yang selama ini kosong, justru dipenuhi cinta. Ia sama sekali tidak merasa kurang apapun, cukup perth