izinkan aku sampaikan perihal hidupku, yang tidak pernah sekalipun aku ceritakan pada orangtuaku.
pertama, saat itu usiaku empat tahun. temanku ada banyak, bu. aku biasa dikelilingi oleh banyak teman-teman yang sering menghampiri dan menyahuti dari depan pagar rumah untuk bergegas ikut main. si kecil itu tidak mengerti apa-apa perihal dunia, bu. yang ia tahu, ia ingin tertawa lepas dan bermain bersama ayah, ibu, juga teman-teman.
usiaku saat itu empat tahun, si kecil itu tidak tahu apa-apa. ia diajak ke suatu tempat gelap dan beramai-ramai. si kecil itu dipaksa untuk berbaring. ia tidak tahu apa-apa, bu. yang ia tahu ia takut, menggigit bibir hingga menangis. mulutnya dibekap, seolah tidak diizinkan untuk berteriak minta ampun dan susah payah ia mengais oksigen untuk sekedar tetap hidup.
bu, si kecil itu pulang dalam keadaan pilu. matanya sembab, jalannya mengangkang menahan perih di selangkangan. ia tidak bisa berkata sepatah kata pun.
keesokan harinya, hingga si kecil itu berusia tujuh tahun pun ia digilir, bu. tidak bisa mengadu karena takut.
hingga usia si kecil itu kini menginjak dua puluh empat tahun, ia tidak bisa mengadu kepada ibu dan ayah. pengalaman traumatis itu membuat si kecil penuh takut.
kedua, usiaku saat itu mungkin sekitar tiga atau empat tahun. masih bisa aku ingat jelas, bagaimana rasanya dicekik dan diarahkan pisau di lehernya, dijepit badannya diantara sela pintu kamar dengan kuat. si kecil itu tenaganya hanya seuprit, mana bisa bu melawan tenaga orang dewasa. mungkin kalau aku melawan pun, tubuhku remuk dibanting.
kedua, usiaku saat itu dua belas menginjak tiga belas tahun. pertamakali pindah dan jauh dari ayah ibu. lingkungan baru yang penuh dengan segala bentuk manifestasi dari rasa benci, iri dengki yang tak beralasan. tidak ada yang mau menemani, tidak ada yang mau menyayangi, semua benci aku bu.
ketiga, ketika aku kembali ke rumah ayah dan ibu. aku kehilangan kesempatan untuk menikmati masa remajaku, bu. aku tidak pernah dapat kesempatan untuk menikmati masa mudaku, hanya untuk memenuhi ekspetasi ayah dan ibu. aku bak burung yang hidup dalam sangkar. diberi makan, minum, tempat tinggal. namun tidak diberi kebebasan untuk mengepakkan sayap melihat berapa indahnya dunia jika aku dapat lihat dari sudut pandang lain.
aku tumbuh dengan penuh rasa benci pada ayah dan ibu. aku benci hidupku duniaku, keluargaku, terutama diriku sendiri.
aku benci bu, hidup terjebak dalam pusaran penuh kebencian. aku ingin dicintai, disayangi, diberikan kesempatan untuk sampaikan segala bentuk bahagia dam sedih dengan orang terkasih. tapi, bu, aku seolah tidak diizinkan semesta untuk itu semua ya, bu?
aku sendiri, bu. hidup di kamar berukuran 3x3 meter persegi sambil meratapi nasib. begini amat, hidupku.
riuh sekali, kepalaku dipenuhi badai yang sangat memekakkan telinga. berebutan meneriaki aku untuk segera akhiri hidup.
ayah, ibu, aku ingin tetap hidup. perjuangan dan upayaku harus sepadan dengan bahagiaku. kalau aku mati sekarang, aku akan menyesal karena hidupku dipenuhi dengan kesedihan dan kenangan buruk.
ayah, ibu, aku tidak sanggup. pisau tajam yang baru saja aku asah, kini ada dalam genggaman. bersiap memutus pembuluh darah agar aku kehabisan darah. agar oksigen yang diangkut dalam darahku tidak bisa diedarkan lagi ke seluruh tubuh.
ayah, ibu, aku sekarat. aku sudah berusaha kuat, tapi jika takdir berkata lain aku ingin minta maaf sembari pertaruhkan hidupku agar ayah dan ibu punya rasa maaf seluas samudera.
ayah, ibu, semakin lama pisaunya semakin menancap. mulai kulihat darah segar mengalir di lenganku. tapi aneh sekali, aku tidak bisa merasakan sakitnya. tapi dadaku sesak, aku menangis sejadi-jadinya. seluruh memori dalam hidupku muncul begitu saja bak layar proyektor.
ayah, ibu, ssstt jangan menangis ya jika dua hari kemudian ayah dan ibu temui jasadku terkulai pucat dan bau busuk menusuk indera penciuman. aku berani sumpah, aku susah payah untuk tetap hidup. tapi, apa yang bisa kita lakukan jika tuhan berkehendak lain.
ayah, ibu, maaf ya jika tak bisa lagi penuhi janjiku buat bahagiakan ayah dan ibu. aku tahu betul, mati dengan cara seperti ini tidak akan membuatku masuk surga. hidup di dunia menurutku sudah seperti berada di neraka.