kisah sepasang suami istri yang memilih mengadopsi.

waktu itu usiaku dua belas tahun

untuk pertama kalinya dalam hidupku merasakan apa yang wanita rasakan, menstruasi. rasanya takut sekali melihat darah yang keluar dari area vitalku. normal kok itu. setiap bulan wanita pasti mengalami menstruasi, mendengar itu, aku berusaha untuk memahami bahwasanya menstruasi adalah hal yang wajar bagi setiap wanita.

yang membuatku heran, bukannya menstruasi datang setiap bulan? tetapi ketika aku menginjak usia 13 tahun lebih tiga bulan, tepat satu tahun sejak pertama kali mengalaminya justru aku tidak pernah lagi mengalami menstruasi.

aku yang kurang pengetahuan, membiarkannya begitu saja. siklus menstruasi yang tidak pernah berjalan normal, terkadang dua atau tiga bulan, enam bulan, bahkan sembilan bulan aku telat mengalaminya.

hingga aku menginjak usia tujuh belas tahun

saat itu aku mulai mencari banyak informasi perihal kesehatan reproduksi wanita. bagaimana menstruasi berjalan seharusnya, mulai dari siklusnya, normalnya berapa hari, bagaimana tanda dan gejala yang dirasakan, dan berbagai kemungkinan penyakit yang muncul akibat tidak mengalami menstruasi teratur.

sepulang sekolah, aku membicarakannya dengan ibu. kemudian ibu membuat janji bertemu dengan salah satu dokter spesialis obsetrik dan ginekologi terbaik di kota tempatku tinggal untuk memeriksakan diriku.

hormon kamu gak stabil, ya? sering merasa tertekan? atau stres? bagaimana dengan pola makan dan tidur? apakah rutin berolahraga? runtutan pertanyaan dokter ajukan untuk menunjang hasil pemeriksaan. dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan ultrasonografi atau usg, namun tidak ada masalah pada rahimku. aku hanya diberikan obat pengatur hormon yang bentuk dan tata cara minumnya seperti pil kb, serta dianjurkan untuk rutin olahraga, mengatur pola makan dan tidur, juga jangan sampai stres.

sejak saat itu, aku bisa mengalami menstruasi jika mengonsumsi obat itu. tanpa obat, aku akan kembali pada siklus yang tidak teratur


usia sembilan belas tahun, aku memutuskan untuk memeriksakan diri kembali

selain siklus menstruasi yang tidak normal, aku juga sering merasakan nyeri perut hebat saat sedang menstruasi yang tentu saja membuatku tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya.

dilakukan kembali pemeriksaan ultrasonografi, tidak ada masalah. dokter mempersilakan aku dan ibu duduk dan menjelaskan dengan perlahan mengenai kondisiku.

“dari hasil pemeriksaan, saya menyimpulkan bahwa putri ibu mengalami infertilitas. infertilitas adalah suatu kondisi dimana organ reproduksi tidak subur, pada kasus putri ibu dikarenakan gangguan pada hormon. akibatnya, putri ibu akan kesulitan untuk memiliki anak. bisa saja diupayakan, akan tetapi memerlukan usaha yang tidak mudah.”

sekujur tubuhku lemas. aku bahkan tidak sanggup untuk menatap dokter, perawat, maupun ibu. perlahan air mataku mengalir begitu saja. aku menggigit bibir agar tidak terisak, namun tetap saja gagal. dibalik senyum yang ibu berikan untuk menguatkan, aku melihat raut wajah ibu yang sarat akan kesedihan dan kecewa. aku kecewa pada diriku sendiri.


menginjak usia dua puluh tahun

masih dengan luka yang sama, aku memutuskan untuk tidak terburu-buru membuka hati pada pria manapun. aku berpikir pria mana yang menerima seorang wanita yang tidak bisa melahirkan anak dari darah dagingnya sendiri. aku sudah pesimis, bisa saja orang tua atau bahkan keluarga sang pria menolakku begitu saja. bahkan sempat tersirat dalam pikiranku bahwa aku tidak ingin menikah. tak mengapa menghabiskan sisa hidup sendirian, mengembara kemana pun destinasi yang dituju—atau bahkan, pergi tanpa tujuan untuk menenangkan diri.


aku memfokuskan diri pada kegiatan sosial sejak usia dua puluh dua tahun. mengadakan kegiatan amal, berkunjung ke panti asuhan, atau menjadi volunteer sebagai tenaga medis untuk menolong orang yang kurang mampu.

bersyukur sekali dengan lingkungan yang saat ini aku jalani. berada dalam kesibukan dan orang-orang baik membuatku lupa bahwa aku punya luka. aku merasa ruang kosong dalam diriku terisi dengan keceriaan anak-anak yang bermain dengan riang di posko pengungsian, hatiku yang semula dingin kini merasa hangat hanya dengan pelukan dan ucapan terima kasih karena telah hadir di dunia ini untuk menolong sesama. sungguh, aku lebih suka hidup seperti ini.

aku tidak perlu memikirkan perihal pernikahan. ah, bahkan aku tidak berani bermimpi memiliki sebuah keluarga kecil yang hangat dan bahagia.

hingga suatu ketika aku mengenal seorang pria bernama lee juyeon, dokter spesialis kejiwaan yang juga memutuskan untuk menjadi relawan.

dua tahun saling mengenal dan bekerja di lingkungan yang sama, membuat kami semakin akrab. aku mengenalnya sebagai pria yang tidak ada cela. sama sekali. pria yang begitu sempurna. setiap kali melihatnya berinteraksi dengan anak-anak korban bencana yang mengalami trauma psikologis, senyum yang ia torehkan, tatapan matanya terasa hangat. cukup membuat hatiku terenyuh dan luluh. untuk pertama kalinya dalam hidupku mendambakan pria yang kerap disapa dokter juyeon bersedia menjadi bagian dari hidupku. lagi-lagi aku menahan diri, mana mungkin mau. aku sudah pesimis duluan.


setelah empat tahun semakin dekat—dalam konteks perasaan, membuat aku dan juyeon memutuskan untuk menjalin hubungan. juyeon, satu-satunya pria yang berupaya sangat keras untuk meyakinkan diriku membuka hati. lagipula, aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk merasakan bahagia dengan pria yang aku cintai. juyeon mencintaiku begitu banyak, cinta yang terlalu kuat untuk aku lepaskan.

hubunganku dan juyeon berjalan dengan baik. ia begitu dewasa ketika menyikapi berbagai konflik hubungan yang lazim terjadi di antara sepasang kekasih.


untuk merayakan hari jadi yang ke tiga hubungan kami, juyeon sudah mempersiapkan segala sesuatu. juyeon mereservasi salah satu restaurant di bagian rooftop yang seringkali kita lewati. hatiku terenyuh, ketika suasana rooftop berubah menjadi romantis. violin yang berada di atas panggung mulai memainkan musik klasik membuat suasana semakin terasa manis.