Maaf, Jack.

Semilir angin terasa seperti hembusan nafasmu tatkala kita menikmati waktu hingga fajar berganti. Aku memilih duduk di atas pasir, merengkuh tubuhku sendiri dalam heningnya malam. Hanyut dalam pikiranku yang sama berisiknya dengan deburan ombak menabrak karang.

Aku merenungi keputusan yang telah aku ambil. Katakanlah aku manusia paling bodoh di muka bumi ini, kekasih yang tidak becus. Harusnya aku menahanmu. Harusnya aku meyakinkan dirimu untuk bertahan sedikit lebih lama dan mengantarkanmu ke fasilitas kesehatan terdekat, bersama dengan perahu yang membawa sebagian orang terdampar disini.

Aku memukul kepalaku dengan kedua tangan, sementara dadaku terasa sesak hingga tak bisa mengeluarkan suara.

Brengsek kau, Krit. Kepalaku tidak berhenti merutuki betapa bajingannya diriku yang memilih untuk menuruti permintaan terakhir Jack. Sebagai seorang kekasih yang mencintai dengan sepenuh hati, bukankah sudah tugasku untuk meyakinkan Jack? Harusnya malam itu aku merengkuh Jack sembari mengusap punggungnya sebagai distraksi. Harusnya aku meyakinkan Jack untuk bertahan lebih lama.

Awalnya aku berpikir kalau permintaan Jack masuk diakal. Aku pun tidak ingin melihatnya menderita menahan sakit. Akan tetapi kalau berpikir realistis, dengan memberi beberapa butir midazolam itu berarti dirinya akan kehilangan Jack untuk selamanya sebelum berjuang hingga titik akhir.

“Maaf, aku tidak seharusnya membunuhmu. Maaf, aku tidak seharusnya membiarkanmu menyerah. Maaf, aku tidak bisa menepati janji untuk bisa membawamu berobat. Maaf...aku memang kekasih yang tidak becus menjagamu. A-aku....” Aku tidak bisa membendung air mata, aku terisak hingga tubuhku gemetar.

Benar kata orang, penyesalan datang di akhir. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana diriku bisa mengikhlaskan kepergian Jack? Bagaimana bisa aku melanjutkan hidup dalam penyesalan? Bagaimana bisa aku tetap hidup, sementara aku telah membunuh Jack? Sangat sulit untuk menerima fakta bahwa baik aku maupun Jack tidak bisa merealisasikan rencana untuk hidup bahagia bersama. Aku bahkan tidak perduli kalau seisi dunia menyalahkan dan menghukum diriku. Aku siap akan konsekuensi itu. Aku justru tidak sanggup bertahan hidup dalam penyesalan karena membiarkan orang yang sangat aku cintai mengakhiri hidup karena aku gagal meyakinkannya.

Memang betul, aku bukanlah seorang yang agamis, bahkan aku tidak percaya akan eksistensi Tuhan. Namun, kali ini aku ingin sekali saja berharap kepada Tuhan yang mereka yakini dengan bersungguh-sungguh. Semoga diriku dan Jack dipersatukan di semesta lain, entah dalam wujud lain atau Tuhan berbaik hati mengembalikan Jack.