before you read, please be careful about trigger warning⚠️

tw // homophobic, self harm, mention about death, anxiety, hate speech.


acara perhelatan malam natal kala itu sangat meriah. dihadiri oleh orang-orang penting dari berbagai kalangan, mulai dari selebriti, anak pejabat, pengusaha, dan orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. semua orang berkumpul, saling menyapa meski tidak begitu mengenal. hong jisoo, kerap disapa dengan joshua merupakan salah satu pebisnis ternama yang sukses diusia terbilang muda. wajahnya kerap muncul pada cover majalah “orang yang menginspirasi.” channel televisi pun kini berbondong-bondong mengundang joshua untuk wawancara.

pembawa acara menginterupsi agenda berbincang antar kolega, menyambut dengan meriah salah satu bintang tamu yang mengisi acara. lee seokmin, namanya. lelaki dengan wajah tampan rupawan, jawline yang membuat figur wajahnya tegas, serta proporsi tubuh yang sempurna: tingginya semampai, dada yang bidang, bisep yang terbentuk dibalik jas formal berwarna burgundy yang ia kenakan membuat orang berpikir bahwa ia rutin melakukan gym. semua pasang mata tertuju pada seokmin, tak terkecuali joshua. tampan, pikirnya. ia bersumpah jika dirinya tidak mampu memalingkan atensinya dari sang bintang tamu.

setelah menaiki panggung nan megah, seokmin mengambil alih acara.

“selamat malam tamu undangan yang saya hormati. terimakasih atas kesediannya untuk menghadiri acara malam ini. sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri, nama saya seokmin. malam ini saya akan mempersembahkan sebuah lagu yang sesuai dengan agenda malam ini, yaitu lagu bernuansa natal.”

malam itu joshua tidak perduli siapapun yang menyapa, fokus sepenuhnya kepada sang penyanyi yang berhasil mencuri hati.

joshua sedari dulu menentang keras bagaimana dengan bangganya orang bercerita mengenai cinta pandangan pertama. karena sungguh, dirinya tidak pernah tertarik kepada siapapun hingga usianya saat ini menginjak dua puluh enam tahun— tidak sampai lee seokmin membuatnya terjaga selama dua puluh empat jam.

dua hari kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali.

lelaki itu, yang mengisi pikirannya sejak malam perhelatan—seokmin sedang memesan minuman. saat hendak membayar, tangannya ditahan oleh sosok lelaki. “biar saya yang traktir.”

lelaki itu bingung setengah mati, apakah mereka saling mengenal?

“ini minumnya.”

“terimakasih, tapi apa kita saling mengenal?”

“ngobrolnya sambil duduk, yuk.” joshua menunjuk tempat duduk dekat jendela, mengisyaratkan seokmin untuk mengikuti.

joshua mengulurkan tangan, “perkenalkan nama saya hong jisoo, kamu boleh panggil saya joshua.”

keduanya berjabat tangan, “nama saya lee seokmin. apa kita pernah bertemu?”

joshua kikuk, reflek menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal, “kita pernah bertemu di acara malam natal, waktu itu kamu jadi bintang tamu.”

si lawan bicara mengangguk, “ah iya, saya baru ingat, hong jisoo... maksud saya, joshua pebisnis yang lagi trendy itu, kan?”

bagi joshua, seokmin itu pribadi yang hangat. siapapun yang mengenalnya akan berkata serupa. pernah suatu ketika seokmin pulang dalam keadaan gemetar, sorot matanya sarat akan amarah dan derita. direngkuhnya tubuh seokmin dengan erat, punggungnya diusap lembut demi memberi efek tenang. seokmin selalu punya cara untuk menyalurkan kasih sayangnya kepada siapapun yang terkasih. hangatnya seokmin, mampu menutupi dinginnya joshua.

bagi joshua, seokmin itu pribadi yang lembut. pernah suatu waktu ia menangis ketika melihat kucing mungil berwarna putih lusuh yang sedang mengais tumpukan sampah demi mengisi perut. kucing itu ditendang oleh manusia, yang pada hakikatnya sesama makhluk hidup. kucing itu dibawanya pulang, “aku mau rawat kucing ini biar dia gak ditendang lagi sama orang jahat.” hingga detik ini selalu ia rawat dan menemaninya ketika joshua pergi dinas ke luar kota. cathy, namanya. kini kucing itu berisi dan tampak gembul, bulunya panjang dan lembut sekali. seokmin merawat dengan penuh kasih sayang.

bagi joshua yang hidup penuh ambisi, seokmin adalah segala hal-hal baik yang Tuhan beri. seokmin begitu sederhana, tidak pernah ia dengar seokmin banyak pinta. joshua menyukai kekasihnya itu bukan hanya paras yang rupawan, namun personalitinya yang membuat dirinya enggan berpaling.

sederhananya seokmin, bukan berarti ia hidup tanpa mimpi. ia hanya sadar bahwa hidupnya sudah terlalu banyak menderita. dulu mimpinya tinggi, ingin melanjutkan pendidikan hingga S3 melalui beasiswa di universitas ternama. namun ia merasa payah, tidak sanggup memulai meraih mimpi karena rasa pesimis mendominasi.

saat ini inginnya hanya satu, hidup bahagia bersama yang terkasih tanpa perlu mendengar caci maki.


sore itu seokmin duduk termenung di sudut kamar. ponsel ia genggam dengan erat, tubuh gemetar khas orang menahan tangis. dadanya terasa sesak, ia menyesal kali ini tidak menggubris perkataan joshua. harusnya ponsel itu tetap dalam mode mati dan disimpan dalam laci.

pikirannya tidak dapat fokus sejak insiden dua hari silam, saat ada orang dengan kurang ajarnya memposting fotonya dengan joshua yang sedang bergandengan tangan di restauran.

satu jam ia duduk termenung menatap langit yang telah berubah menjadi jingga. pikirannya berkelana, terlalu berisik. pesan-pesan anonim yang ia terima cukup membuatnya merasa jadi manusia paling hina.

seokmin scroll akun twitter yang selama dua hari ini notifikasinya tidak kunjung berhenti.

satu persatu ia baca

“ganteng-ganteng kok homo.”

“gila ya dunia udah mau kiamat aja masa kaum homo terang-terangan gini.”

“kalo orang homo ngewenya gimana? titit dimasukin ke lobang pantat?”

“Tuhan menciptakan adam dan hawa, bukan adam dan adam.”

“dasar homo gak guna, lu sakit jiwa makanya demen sesama laki. berobat sana lu ke rsj.”

“yang uke siapa? si seokmin atau cowok si joshua?”

“mau-mau aja si joshua cakep begitu homoan sama lu.”

“orang homo kayak lo cuma sampah masyarakat, bisa-bisa lo nyebarin penyakit hiv.. ih takut banget.”

“mana ada orang normal yang suka sesama jenis.”

“harusnya semua homo musnah aja.”

“lo mending jauh-jauh dari joshua, kalo perlu mati sekalian. jangan rusak joshua jadi homo kayak lo.”

tangannya gemetar hingga handphone yang ia pegang terjatuh ke lantai. tangis yang ia tahan sedari tadi akhirnya pecah, tidak sanggup lagi membaca pesan jahat yang ditujukan kepadanya dan sang kekasih.

mengapa semua orang menyuruhnya untuk mati?

mengapa semua orang menganggap dirinya sampah?

memangnya kenapa kalau seokmin suka laki-laki?

memangnya kenapa kalau seokmin berbeda dari orang pada umumnya?

memang apa yang salah dari mencintai seseorang?

memangnya ia harus selalu memenuhi ekspektasi semua manusia di muka bumi? kalau begitu, kapan ia menemui bahagia? sampai kapan ia harus berpura-pura?

sudah cukup selama ini seokmin menjadi manusia yang sempurna menurut mereka. sudah cukup baginya dibuang oleh keluarganya sendiri. seokmin tidak lagi ingin memakai topeng diatas topeng. senyum palsu itu—seokmin sangat benci ketika menatap figurnya pada cermin. ia benci dirinya bukan karena ia berbeda, tetapi karena senyum palsu itu membuatnya tidak mengenal diri sendiri.

selama ini seokmin hidup dalam tekanan, dituntut melakukan A-Z, hidupnya didikte sedemikian rupa agar dapat memenuhi ekspetasi semua orang. tidak ada satupun yang membiarkan dirinya memilih jalan hidup sendiri. bahkan seringkali ia bertanya, siapa lee seokmin itu? ia bahkan merasa asing dengan dirinya sendiri.

kepalanya pusing bukan main, terlampau berisik. kedua tangannya menutup telinga dengan rapat. berisik. seokmin butuh ketenangan. tolong kali ini jangan lagi ada bisikan menyuruhnya untuk mati.

“kamu gak berguna, lebih baik mati.”

“gak ada yang sayang sama kamu, jadi untuk apa bertahan hidup.”

“ambil pisaumu di laci, tidak ada yang perlu ditakutkan kalau kamu mati. kamu tidak akan membaca pesan jahat itu lagi.”

dengan tangan uang yang tremor, ia menekan tombol dial pada emergency call. tak perlu menunggu lama, ada jawaban dari seberang sana.

“ada apa sayang? aku malam ini pulang agak malam, ya.”

tidak ada sahutan.

“sayang? are you okay?”

“shua, aku takut.. aku.. aku gemeter.. tolong, berisik.. kepalanya sakit.. gamau berhenti..” lirih seokmin.

“sayang, ikutin intruksi aku, tarik napas dalam, keluarin perlahan. ayo kamu bisa. tarik napas...keluarin perlahan. jangan takut, ada aku. kamu gak sendiri, kamu punya aku. tunggu, aku pulang sekarang.” joshua merasa dadanya sakit, seperti ada yang memukul dadanya. sebisa mungkin ia pun memenangkan diri, seokmin butuh dirinya kali ini.

“tanganku berdarah.. aku gak bisa rasain apa-apa.”

“sayang, pisaunya jauhin ya? tangan kamu berharga buatku. jangan lukai diri kamu. nanti sampai rumah aku obati. tolong simpan dulu ya pisaunya?”

“tunggu aku pulang, ya? nanti aku peluk yang lama. keluarin keselnya, sedihnya, kecewanya. kalau kamu mau nangis, boleh. tapi jangan sakitin diri kamu, ya?”

yang disana tidak bergeming, “kamu denger apa yang aku bilang, kan?”

“i-iya, pulang.. aku butuh kamu.”

telepon dimatikan sepihak. joshua bersyukur hari ini tidak ada lagi rapat, ada beberapa berkas namun bisa diurus nanti.

bergegas joshua menuju parkiran dan mengemudi dengan cepat. seokmin-nya sedang tidak baik-baik saja.