sering aku mendengar berbagai ucapan dari mereka yang sok tahu tentang hidupku.

memang tampaknya hidupku seperti orang yang tanpa beban, tertawa ketika sedang bergurau, tersenyum ketika dalam hati meringis. kehidupan ini yang orang bilang nikmat, justru bagiku menyiksa teramat.

“hidup kamu enak. punya rumah mewah, tidak perlu menunggu antrian transportasi umum, tidak perlu berdesak-desakan dengan orang.”

“kamu harusnya bersyukur punya orangtua yang lengkap, membiayai hidupmu hingga dewasa, tidak perlu banting tulang memenuhi kebutuhan.”

“kamu punya banyak uang, tidak perlu takut miskin.”

kalau menurut mereka hidupku sempurna, maaf, itu hanya luarannya saja.

kebutuhan finansialku terpenuhi, tetapi aku menderita secara emosional.

sakit bukan main kali pertama mendengar perkataan kasar dari orangtua, diperlakukan tidak seperti seorang anak yang disayang, setiap saat mendengar cacian. ingin mengeluh, kepada siapa? Tuhan sudah terlanjur menakdirkan aku hidup sebagai diriku saat ini.

memang betul pada kenyataannya setiap permasalahan akan membuat seseorang tumbuh menjadi lebih kuat. namun siapa yang tahu, sampai kapan kekuatan itu ada?

aku pernah beberapa waktu menjadi sosok yang haus validasi. menyangkal setiap orang yang berkata seolah paling tahu hidupku. aku membuang-buang waktu menjelaskan betapa menyedihkannya hidupku dibalik segala hingar bingar kemewahan yang tampak bak hidup idaman setiap orang.

setelah disadari, tiada guna. manusia akan selalu percaya pada apa yang mereka ingin percaya, bukan sebuah fakta yang membuat mereka berpikir dua kali.

aku telah memutuskan untuk memasang topeng kebahagiaan yang aku tunjukkan kepada orang lain. toh, memang tidak perlu terlihat menyedihkan dihadapan mereka yang mencaci, bukan? tidak perlu juga memperlihatkan sisi paling kelam kepada mereka yang tidak mau tahu.

diriku yang paling tahu betapa sengsaranya hidup dalam rumah yang dianggap mewah ini. segala luka dan peristiwa traumatis yang selama ini aku genggam sendiri adalah saksi betapa sulitnya menjalani hidup menyedihkan namun yang aku dengar hanyalah “kamu harus bersyukur.”

hey, bahkan tanpa kalian ingatkan pun aku sudah mencoba. aku sudah menjadi setegar batu karang yang dihantam ombak. meski begitu, tolong jangan salahkan aku ketika masa kuatku telah luruh. aku juga manusia, jangan lupakan fakta itu.

konsep bersyukur itu seperti apa, sih? kenapa orang-orang hanya bisa menyuruhku bersyukur dan tidak boleh mengeluh? apa salah jika suatu waktu aku marah kepada dunia? apa salah jika aku membenci diriku sejak berumur tujuh tahun?

bersyukur—ya, aku sedang mencoba. bukan berarti aku tidak boleh marah ketika melihat hidup orang lain yang dipenuhi kasih sayang dari yang terkasih.

aku tumbuh dengan luka. hanya saja mereka tidak mau tahu selelah apa diriku bertahan hingga detik ini.


tulisan ini aku curahkan pada tanggal 20 juli 2021 jam 07.00 untuk meredam amarah dan resah.

— siska.