semicolon
before you read, please be careful about trigger warning⚠️
trigger warning // homophobic, self harm, suicide attempt, blood, mention about death, anxiety, hate speech, family issues, mental illness.
acara perhelatan malam natal kala itu sangat meriah. dihadiri oleh orang-orang penting dari berbagai kalangan, mulai dari selebriti, anak pejabat, hingga para pengusaha.
begitupula hong jisoo, kerap disapa dengan joshua merupakan salah satu pebisnis ternama yang sukses diusia terbilang muda. cover majalah hingga saluran televisi pun kini berbondong-bondong mengundang joshua untuk wawancara.
pembawa acara menginterupsi agenda berbincang antar kolega, menyambut dengan meriah salah satu bintang tamu yang mengisi acara. lee seokmin, namanya. lelaki dengan wajah tampan rupawan, jawline yang membuat figur wajahnya tegas, serta proporsi tubuh yang sempurna: tingginya semampai, dada yang bidang, bisep yang terbentuk dibalik jas formal berwarna burgundy yang ia kenakan membuat orang berpikir bahwa ia rutin melakukan gym.
setelah menaiki panggung nan megah, seokmin mengambil alih acara.
kini semua pasang mata tertuju pada seokmin, tak terkecuali joshua. tampan, pikirnya. ia bersumpah jika dirinya tidak mampu memalingkan atensinya dari lelaki tersebut.
sang penyanyi berdehem, berusaha mengatur napas dan menghilangkan rasa gugup dalam dirinya. tak terhitung berapa banyak jam terbangnya sebagai penyanyi, namun ini merupakan kali pertamanya mengisi sebuah acara yang dihadiri tamu-tamu penting.
“selamat malam tamu undangan yang saya hormati. terimakasih atas kesediannya untuk menghadiri acara malam ini. sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri, nama saya seokmin. malam ini saya akan mempersembahkan sebuah lagu yang sesuai dengan agenda malam ini, yaitu lagu bernuansa natal.”
malam itu joshua tidak perduli siapapun yang menyapa, fokus sepenuhnya kepada sang penyanyi yang berhasil mencuri hati.
lantunan lagu yang dibawakan sang penyanyi mampu membuat hatinya berdesir. suaranya lembut, mampu menyentuh hati joshua yang kalang kabut. suara yang sangat indah membuat suasana ruangan menjadi semakin meriah. para tamu undangan ikut bersenandung ria, menggerakkan tubuhnya mengikuti irama. joshua meyakini bahwa seokmin bawakan lagu dengan sepenuh hati. pasalnya, bisa dilihat dengan jelas sejak awal sampai akhir sang penyanyi tersenyum sembari membawakan lagu. binar matanya, sungguh memikat hatinya. ah, ini gila. bagaimana bisa seseorang membuat dirinya tersenyum selebar ini.
joshua sedari dulu menentang keras bagaimana dengan bangganya orang bercerita mengenai cinta pandangan pertama. bagaimana bisa hanya dengan sekali bertemu bisa tumbuh rasa cinta? karena sungguh, dirinya tidak pernah tertarik kepada siapapun hingga usianya saat ini menginjak dua puluh tujuh tahun— tidak sampai lee seokmin membuatnya terjaga selama dua puluh empat jam.
joshua tidak pernah menduga bahwa ada satu orang yang mampu menembus hatinya. selama ini memang tidak sedikit yang berinisiatif mendekatinya, namun tidak pernah ada yang sanggup. tembok yang ia bangun, terlalu tinggi dan sulit untuk digapai.
tidak sedikit rekan kerjanya mewanti-wanti joshua agar mencari pasangan.
“kapan nih bawa gandengan? nggak bosen lo tiap dateng ke acara sendirian?”
“apa kata dunia cakep-cakep jomblo.”
“ah elah, gue yakin pasti banyak yang naksir lo. sekali kicep doang langsung pada kecantol. harusnya lo manfaatkan tampang lo yang diatas rata-rata itu.”
puluhan anjuran yang diberikan rekan kerjanya tidak pernah satupun ia terapkan. joshua hanya merespon dengan tawa atau kalimat, “boro-boro mau cari pasangan, ada waktu buat kumpul bareng lo pada aja susah. gue masih sibuk berkarir ini” joshua dengan segala elaknya.
dua hari kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali.
semesta memberinya hal yang tak terduga. lelaki itu, yang mengisi pikirannya sejak malam perhelatan—seokmin, tampak sedang memesan minuman di coffee shop langganannya.
joshua menghentikan langkahnya, berpikir barang sejenak tentang apakah ia memiliki keberanian yang cukup untuk mencoba. ah, terlalu banyak mikir, setelah menimbangnya dalam waktu singkat, ia merasa harus mencoba, tidak ingin menyesal melewatkan kesempatan untuk berkenalan. soal jodoh atau bukan urusan belakangan.
ia putuskan untuk menghampiri sang lelaki bongsor di kasir. saat seokmin hendak membayar, tangannya ditahan oleh joshua, “biar saya yang traktir.”
lelaki yang lebih muda kini bingung setengah mati, apakah mereka saling mengenal?
sang barista memberikan pesanannya, yang kemudian diambil oleh joshua. “ini minumnya.”
“terimakasih, tapi apa kita saling mengenal?”
“ngobrolnya sambil duduk, yuk.” joshua menunjuk tempat duduk dekat jendela, mengisyaratkan seokmin untuk mengikuti. nuansa retro dengan aksen minimalis, dipadukan dengan backsound ala-ala drama korea, lagu wave to earth yang berjudul love sedang diputar.
joshua mengulurkan tangan, “perkenalkan nama saya hong jisoo, kamu boleh panggil saya joshua.”
keduanya berjabat tangan, “nama saya lee seokmin. apa kita pernah bertemu?”
joshua kikuk, reflek menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal, “kita pernah bertemu di acara malam natal, waktu itu kamu jadi bintang tamu.”
si lawan bicara mengangguk, “ah iya, hong jisoo... maksud saya, joshua pebisnis yang lagi trendy itu, kan?”
lelaki yang lebih tua itu tersenyum, “senang berkenalan denganmu.”
semesta memang penuh dengan kejutan.
kedekatan keduanya tidak hanya sampai pada perkenalan singkat di kafe langganan. mulai dari bertukar kontak, saling mengabari, seokmin yang rutin membawakan joshua bekal makanan selagi di kantor, menghabiskan waktu senggang dengan berjalan-jalan. rutinitas yang mereka lakukan bersama layak disebut sebagai pasangan. hanya saja keduanya masih belum berani untuk menjalin hubungan. joshua tidak ingin terburu-buru, ia tahu seokmin perlu waktu.
tiga bulan lamanya menjalani pendekatan. keduanya memanfaatkan waktu tersebut untuk mengenal lebih dalam, mulai dari menceritakan hal yang paling disukai dan tidak disukai. seokmin menceritakan tentang masa kecilnya hingga tentang keluarga yang membuat dirinya sampai pada titik ini.
pun joshua, menceritakan segala hal yang baginya seokmin layak untuk tahu. menceritakan bagaimana usaha kerasnya menjadi pebisnis yang membuahkan hasil, bagaimana ia bangkit ketika sang ibu meregang nyawa pada kecelakaan tragis saat dirinya berusia dua puluh.
tiga bulan cukup meyakinkan seokmin dan joshua untuk menjalin hubungan. hari-hari sebagai pasangan resmi mereka lalui. satu hal yang baru seokmin ketahui, dibalik pribadinya yang dingin dan tegas sebagai atasan, joshua itu seperti anak kecil yang manja. seringkali merengek ketika merindukannya, bahkan ketika bertemu seokmin dibawa pulang ke apartemennya. hingga akhirnya seokmin memutuskan untuk tinggal bersama joshua.
bagi seokmin, joshua itu pribadi yang hangat. siapapun yang mengenalnya akan berkata serupa. pernah suatu ketika seokmin menghampirinya pukul dua malam dalam keadaan gemetar, sorot matanya sarat akan amarah dan derita. direngkuhnya tubuh seokmin dengan erat, punggungnya diusap lembut demi memberi efek tenang. joshua selalu punya cara untuk menyalurkan kasih sayangnya kepada siapapun yang terkasih.
bagi joshua, seokmin itu pribadi yang lembut. pernah suatu waktu ia menangis ketika melihat kucing mungil berwarna putih lusuh yang sedang mengais tumpukan sampah demi mengisi perut. kucing itu ditendang oleh manusia, yang pada hakikatnya sesama makhluk hidup. makhluk mungil nan lucu itu dibawanya pulang, “aku mau rawat kucing ini biar dia gak ditendang lagi sama orang jahat.” hingga detik ini selalu ia rawat dan menemaninya ketika joshua pergi dinas ke luar kota. somin, namanya. singkatan dari jisoo dan seokmin. kini kucing itu berisi dan tampak gembul, bulunya panjang dan lembut sekali. seokmin merawat dengan penuh kasih sayang.
bagi joshua yang hidup penuh ambisi, seokmin adalah segala hal-hal baik yang Tuhan beri. seokmin begitu sederhana, tidak pernah ia dengar seokmin banyak pinta. joshua menyukai kekasihnya itu bukan hanya paras yang rupawan, namun kepribadiannya yang membuat dirinya enggan berpaling.
sederhananya seokmin, bukan berarti ia hidup tanpa mimpi. ia hanya sadar bahwa hidupnya sudah terlalu banyak menderita. ia adalah anak tunggal yang lahir dalam keluarga konservatif, tidak pernah diberikan kesempatan untuk bercerita mengenai hari-harinya, tidak pernah diberikan kesempatan untuk bersuara memilih jalan hidupnya, ia tidak pernah dibiarkan menjadi diri sendiri. semua perkataan ayah harus dituruti, tidak boleh dibantah sekalipun.
hingga suatu ketika, keluarganya mengetahui kenyataan bahwa seokmin berpacaran dengan anak laki-laki dari kolega bisnis sang ayah. kejadian itu memicu pertengkaran hebat hingga seokmin memutuskan untuk pergi, memulai kehidupan bebas sesuai dengan harapannya sejak dulu.
saat ini inginnya hanya satu, hidup bahagia bersama yang terkasih tanpa perlu mendengar caci maki.
sore itu seokmin duduk termenung di sudut kamar. punggungnya bersandar pada tembok, kakinya menyentuh lantai yang dingin. ponsel ia genggam dengan erat, tubuhnya gemetar, telapak tangannya sesekali memukul dadanya yang terasa sesak. matanya memerah, sarat akan amarah.
pikirannya tidak dapat fokus sejak insiden dua hari silam, saat ada orang yang dengan kurang ajarnya mengganggu ketenangan hidupnya dan joshua.
memang benar kata orang, rasa penasaran dapat membunuhmu.
dilihat satu akun anonim yang memposting fotonya dengan joshua yang sedang bergandengan tangan di restauran.
seokmin scroll akun twitter yang selama dua hari ini notifikasinya tidak kunjung berhenti.
scroll. scroll. dari atas hingga bawah, satu persatu ia baca komentar dan pesan anonim yang memenuhi curious cat dan direct messa akunnya.
“ganteng-ganteng kok homo.”
“gila ya dunia udah mau kiamat aja masa kaum homo terang-terangan gini.”
“kalo orang homo ngewenya gimana? titit dimasukin ke lobang pantat?”
“Tuhan menciptakan adam dan hawa, bukan adam dan adam.”
“dasar homo gak guna, lu sakit jiwa makanya demen sesama laki. berobat sana lu ke rsj.”
“yang uke siapa? si seokmin atau cowok si joshua?”
“mau-mau aja si joshua cakep begitu homoan sama lu.”
“orang homo kayak lo cuma sampah masyarakat, bisa-bisa lo nyebarin penyakit hiv.. ih takut banget.”
“mana ada orang normal yang suka sesama jenis.”
“harusnya semua homo musnah aja.”
“keluarganya apa gak malu punya anak gay.”
“lo mending jauh-jauh dari joshua, kalo perlu mati sekalian. jangan rusak joshua jadi homo kayak lo.”
“ini cowok mainnya sama pengusaha, dikasih berapa lo sama si om?”
satu jam ia duduk termenung menatap langit yang telah berubah menjadi jingga. pikirannya berkelana, terlalu berisik. pesan-pesan anonim dan ujaran kebencian yang ia terima mengusik. mengembalikan berbagai memori buruk saat ia di masa terpuruk.
sungguh ia menyesal kali ini tidak menggubris perkataan joshua. harusnya ponsel itu tetap dalam mode mati dan disimpan dalam laci.
obat. ia butuh obatnya.
susah payah ia mengais oksigen. tangan gemetarnya merogoh laci, mengambil obat yang diresepkan minggu lalu oleh therapist. ia ambil air minum di nakas dan meminum obatnya sekali teguk.
tangannya gemetar hebat hingga handphone yang ia pegang terjatuh ke lantai. tangis yang ia tahan sedari tadi akhirnya pecah, tidak sanggup lagi membaca komentar kebencian yang ditujukan kepadanya dan sang kekasih.
mengapa semua orang menyuruhnya untuk mati?
mengapa semua orang menganggap dirinya sampah?
memangnya kenapa kalau seokmin suka laki-laki?
memangnya kenapa kalau seokmin berbeda dari orang pada umumnya?
memang apa yang salah dari mencintai seseorang?
memangnya ia harus selalu memenuhi ekspektasi semua manusia di muka bumi? kalau begitu, kapan ia menemui bahagia? sampai kapan ia harus berpura-pura?
sudah cukup selama ini seokmin menjadi manusia yang sempurna menurut mereka. sudah cukup baginya dibuang oleh keluarganya sendiri. seokmin tidak lagi ingin memakai topeng. senyum palsu itu—seokmin sangat benci ketika menatap dirinya pada cermin.
selama ini seokmin hidup dalam tekanan, dituntut melakukan ini dan itu, hidupnya didikte sedemikian rupa agar dapat memenuhi ekspetasi semua orang. tidak ada satupun yang membiarkan dirinya memilih jalan hidup sendiri. bahkan seringkali ia bertanya, siapa lee seokmin itu? ia bahkan merasa asing dengan dirinya sendiri.
kepalanya pusing bukan main, terlampau berisik. kedua tangannya menutup telinga dengan rapat. pusing. terlalu bising. seokmin butuh tenang. tolong kali ini jangan lagi ada bisikan menyuruhnya untuk mati.
“kamu gak berguna, lebih baik mati.”
“gak ada yang sayang sama kamu, jadi untuk apa bertahan hidup.”
“ambil pisau mu di laci, tidak ada yang perlu ditakutkan kalau kamu mati. kamu tidak akan membaca pesan jahat itu lagi.”
ia butuh joshua. dengan tangan yang tremor, ia menekan tombol dial pada emergency call. tak perlu menunggu lama, ada jawaban dari seberang sana.
“ada apa sayang? aku pulang agak malam, ya.”
tidak ada sahutan.
“sayang? are you okay?”
terdengar suara napas berat dan cepat dari seberang sana, joshua tau kekasihnya sedang kalut.
“shua, aku takut.. aku.. aku gemeter.. tolong, berisik.. kepalanya sakit.. gamau berhenti..” lirih seokmin.
“tanganku berdarah.. pisau. aku ambil pisau dari laci, aku kalut. aku gak tau, bingung. aku gak bisa rasain apa-apa.”
“jauhi pisaunya ya, sayang? kamu berharga buatku. jangan lukai diri kamu. nanti sampai rumah aku obati. tolong simpan dulu ya pisaunya? tekan lukanya pakai tangan satunya bisa?”
”....bisa”
“sayang, ikutin instruksi aku. duduk tegap sayang, bisa?”
tidak ada jawaban selain suara napas cepat dari sana. joshua sebetulnya panik, ia pun kini sedang tidak baik. namun kali ini ia harus lebih pandai mengatur emosi, prioritasnya kini menenangkan sang kekasih.
“fokus sama suaraku ya, sayang? bisa denger suaraku?”
“bisa...”
“sekarang coba tarik napas dalam pakai metode 478 ya? aku hitung ya, tarik napas 4 detik sayang... tahan napasnya 7 detik... sekarang buang napasnya 8 detik.”
terdengar tarikan dan hembusan napas seokmin yang jauh lebih teratur dari sebelumnya, membuat joshua sedikit merasa lega.
“sayang jangan takut, ada aku. kamu gak sendiri, kamu punya aku. atur napasnya, ya? tunggu, aku pulang sekarang.” joshua merasa seperti ada yang memukul dadanya, nyeri dan sesak. keduanya sama-sama mengatur napas. sebisa mungkin ia pun memenangkan diri.
“bisa.. aku bisa. pulang, aku mau kamu. mau peluk.”
“tunggu aku pulang, ya? nanti aku peluk yang lama. keluarin keselnya, sedihnya, kecewanya. kalau kamu mau nangis, boleh. tapi jangan sakiti diri kamu lagi, ya? “
“i-iya, pulang.. aku butuh kamu.”
telepon dimatikan sepihak. joshua bersyukur hari ini tidak ada lagi rapat, ada beberapa berkas namun bisa diurus nanti.
bergegas joshua menuju parkiran dan mengemudi dengan cepat. semoga seokmin-nya baik-baik saja.
setiba joshua di apartemen yang ditempatinya dengan sang kekasih, ia mengatur napas dan mengumpulkan kewarasannya. ia menepis berbagai skenario buruk yang tergambar dalam pikirannya.
bergegas ia tekan password pada pintu apartemen, begitu masuk ia mendapati apartemennya gelap, sunyi. matanya menyusuri tiap sudut ruangan, mencari sang pemilik hati yang membuatnya khawatir.
“sayang, aku pulang.”
tidak kunjung ada jawaban, joshua mengeluarkan handphone dan menekan tombol dial pada kontak seokmin.
terdengar suara nada dering milik seokmin dari kamar, ia berlari menghampiri.
seokmin sedang duduk di ujung kamar. bahunya masih bergetar, dagunya bertumpu pada kedua lutut yang ditekuk. darah dibiarkan mengalir dari pergelangan tangannya membasahi lantai tempatnya berpijak.
segera joshua mengambil kain yang kemudian ia balut dan tekan demi menghentikan perdarahan.
direngkuhnya tubuh sang kekasih, meski tubuh kekar itu lebih tinggi dan besar darinya, ia tahu betul jiwa sang pemilik sedang rapuh.
“shua, aku.. takut..” seokmin menangis dalam pelukan joshua.
“aku disini, kamu nggak sendiri. jangan takut lagi, ya?” diusap dan ditepuk dengan lembut punggung seokmin, berharap memberi rasa aman dan nyaman pada sang pujaan.
“maaf nggak bisa tepati janji buat jaga diriku dengan baik. aku ngerepotin kamu terus, aku bikin kamu khawatir terus, aku cuma beban buat kamu.”
“sayang, pikiran jeleknya dilawan, ya? aku nggak pernah anggap kamu beban buatku, aku nggak pernah merasa direpotin sama kamu. aku mau jaga kamu, aku sayang kamu, mau kamu bahagia dan aman bareng aku.”
“orang-orang kenapa ya benci sama aku? kenapa aku nggak bisa hidup bahagia kayak orang lain? kenapa mereka jahat sama kita?”
diusap kedua pipi seokmin dengan ibu jarinya, “sayang bisa lihat aku?”
susah payah seokmin mengangkat kepala dan menatap mata joshua, “aku nggak masalah orang mau bilang apa tentang kita, yang aku tau aku cuma pengen kita bahagia sama-sama. aku pengen memastikan kamu aman sama aku. omongan mereka, jangan terlalu dipikirin ya? sayang bisa percaya omongan aku?”
seokmin mengangguk pelan, keningnya dikecup pelan, “terimakasih ya udah mau berjuang sama aku, kita usahain hubungan ini bareng-bareng ya sayang? sekarang ikut aku ke rumah sakit, ya?”
tubuh lelaki yang lebih tua itu sebetulnya lemas akibat dilanda cemas. ia berusaha lebih tegar untuk berada di samping yang terkasih. genggaman tangannya sedari tadi tidak pernah dilepas, usapan demi usapan pada jemari seokmin ia berikan sebagai penguat. “semua akan baik-baik saja, kamu masih punya aku. ayo kita sama-sama lebih kuat lagi.”
perawat menghampiri joshua yang sedang duduk di samping tempat tidur, “wali dari tn. seokmin? bisa ikut saya ke ruangan dokter?”
joshua mengikuti langkah perawat, ia duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter.
“luka di tangannya udah gue jahit buat hentikan perdarahannya. sekarang kita lebih fokus buat menstabilkan kondisi psikisnya. saran gue buat beberapa hari ini lo temenin dulu seokmin. jangan biarin dia sendirian dulu, dia butuh lo di sampingnya” ujar minghao, dokter sekaligus teman masa kecilnya yang menangani seokmin.
joshua menghembuskan napas panjang, diusap kasar wajahnya, “gue bakal ambil cuti dulu di kantor buat nemenin dia. hao, gue gak tau harus gimana. gue gak tega liat dia kayak gini, gue.. gak bisa.”
ditepuknya pundak teman masa kecilnya itu, “gue tau, lo dan seokmin jauh lebih kuat dari siapapun yang gue kenal. prioritas lo selain jagain seokmin, lo juga perlu jaga diri sendiri. sekarang seokmin lagi istirahat, lo pergi ke kantin buat makan. muka lo pucet banget, gue yakin lo pasti belum makan.”
“makasih, hao. gue titip dulu seokmin ke lo.”
sudah satu minggu berlalu sejak insiden itu, joshua tidak pernah absen untuk berada disisi seokmin. ia berjanji pada diri sendiri untuk memastikan keadaan seokmin stabil dan membaik.
dan seperti yang diharapkan, keadaan seokmin jauh lebih baik dari sebelumnya. semua itu berkat joshua yang telaten mengurus dan memberi perhatian penuh pada seokmin. joshua yang menyiapkan makan, membersihkan apartemen, merapikan pakaian, menemaninya seharian. seokmin merasa sangat beruntung meski tidak sampai hati memikirkan betapa merepotkan dirinya belakangan ini.
ada banyak hal yang memenuhi kepala seokmin malam ini namun tak kunjung jua ia lontarkan. ada banyak pertanyaan yang mendesak dirinya untuk segera menemukan jawaban. yang mana seokmin tahu, segala bentuk pertanyaan dalam kepalanya tidak selalu ada jawaban. itu semua hanya manifestasi dari segala kekhawatiran, keraguan dan kerisauan yang menghantui.
ditatapnya lamat-lamat wajah sang kekasih yang sedang terlelap. wajahnya sangat tenang, memberikan rasa damai pada dirinya. melihat bahwa masih ada sang kekasih yang berada disisinya, membuat berisik di kepalanya sedikit mereda. setidaknya dirinya tidak merasa sendiri menghadapi dunia yang keji.
perlu usaha lebih bagi seokmin untuk tidur tenang malam ini, ia coba memejamkan matanya sembari mendekap erat sang kekasih. membenamkan wajahnya pada ceruk leher dan menghirup dalam aroma tubuh joshua. baginya, aroma tubuh joshua seperti membawanya ke tepi pantai, memberikan efek relaksasi ketika dirinya merasa anxiety.
“kenapa belum tidur, sayang? lagi mikirin apa mm?” lelaki yang lebih tua itu membuka matanya perlahan, meski belum terlelap sepenuhnya ia bisa merasakan pergerakan seokmin yang sedang gelisah.
“shua, akhir-akhir ini aku lagi banyak mikir.”
“kamu mau cerita?”
“aku ngerasa bersyukur punya kamu yang selalu sedia melindungi aku, menyayangi aku, mencintai aku dengan tulus. disisi lain aku takut bikin kamu kecewa, takut cuma bikin kamu capek dan tertekan, takut kamu kena imbasnya.” joshua dengar kata demi kata penuh atensi tanpa berniat menginterupsi.
“sayang, aku juga bersyukur dan berterimakasih karena berkat kamu, aku merasa dicintai, kamu bisa mengisi hidupku, kamu bisa membuat aku merasakan bahagia yang sebelumnya belum pernah aku rasakan.” diciumnya pucuk kepala seokmin, “aku nggak pernah sekalipun berpikir kalau aku merasa capek, tertekan ataupun kecewa selama bareng kamu. yang aku tau, aku bahagia punya kamu. aku bahagia kamu ada di sampingku kayak sekarang... aku bahagia kamu bisa bertahan dan berjuang denganku sampai saat ini.”
“aku punya banyak luka, jiwa dan ragaku sakit. kamu pantas dapat yang jauh lebih baik dariku, shua. aku gak mau buat kamu ikut menderita. aku sayang kamu... mau kamu bahagia.” napasnya tercekat, sungguh ia sangat mencintai lelaki yang lebih tua darinya. seokmin betulan tidak sanggup membayangkan hidup tanpa joshua. presensi lelaki itu menghidupkan jiwanya yang telat lama mati. namun, bukankah cinta itu banyak bentuknya? misal, memilih melepas daripada bersama hanya saling menyiksa. seokmin tidak tahu bagaimana cara menginterpretasikan rasa cinta yang ia miliki, menerima cinta joshua sebegini banyaknya saja ia merasa tidak pantas. ah persetan. apapun itu, ia hanya ingin joshua dilimpahi kebahagiaan yang mungkin bisa didapatkan diluar sana.
joshua mendengus, ia memejamkan mata sembari mencoba berpikir jernih. bagaimana bisa seokmin menyuruhnya mencari kebahagiaan selain kekasihnya itu? sementara pusat dari kebahagiaan yang ia dapatkan selama ini adalah sang kekasih.
“seokmin, bahagiaku itu kamu. kalau kamu nyuruh aku cari kebahagiaan lain, aku nggak akan menemukannya selain dari kamu. aku berani jamin apa yang ada dipikiran kamu itu nggak sepenuhnya benar. aku sama sekali nggak menderita. aku selalu bahagia punya pacar yang hebat kayak kamu.”
“i don't deserve you, shua. aku nggak tau gimana caranya buat kasih kamu cinta yang lebih besar dari apa yang kamu kasih. aku bersyukur punya kamu. terimakasih sudah mau menemaniku bertahan.”
“kedepannya apapun yang terjadi, jangan takut atau menyerah, ya? pegang tanganku, kita jalan sama-sama. aku bisa kasih kamu pelukan dan ciuman hangat, aku bisa lindungi kamu dari orang-orang jahat, aku bisa kasih cinta buat kamu setiap saat. you deserve it, my love.”
air mata seokmin tak dapat lagi dibendung, mengalir begitu saja saat mendengar ucapan joshua. ia terharu, tidak menyangka bahwa Tuhan memberinya kesempatan untuk menerima cinta sebanyak yang tak terkira.
“terimakasih... aku janji bakal berusaha buat berjuang sama kamu.”
“janji ya berjuang demi kita?”
“iya sayang, janji. demi kamu dan aku.”
joshua bawa seokmin pada ciuman lembut dan hangat. rasa asin dari air mata yang mengalir masuk ke celah bibir membuat dada keduanya berdesir. ciuman tidak pernah semenyedihkan ini, namun satu hal yang pasti entah bagaimana masa depan menanti, setidaknya saat ini keduanya sudah berjanji.
—fin.
aku harap kita lebih bijak dalam berbicara ataupun mengirim pesan. dari setiap ujaran kebencian yang kita beri, ada banyak nyawa yang dapat hilang dalam sekejap. kita tidak pernah tahu bagaimana sulitnya menjalani kehidupan orang lain, namun jangan menutup mata karena kita semua punya luka. tidak selalu manusia hidup dengan suka, bagi sebagian orang yang hidup bertahan dengan luka, tolong jangan buat luka bertambah. hargai setiap nyawa, jiwa, dan raga yang sekuat tenaga berjuang ditengah kejamnya dunia.
mari doakan ketenangan dan ketenteraman bagi nyawa yang meregang akibat kalimat kebencian yang dilontarkan. dan semoga jiwa-jiwa yang jahat, yang menjadi penyebab hilangnya nyawa mendapat akibatnya.