eclipse.

writing is healing♡

juric based on day6-so lets love. ceritanya mereka berantem terus gak sengaja ngucapin kata kasar yang ngebuat mereka jengah sama hubungan. tapi juyeon berusaha yakinin kalau kedepannya dia bakalan lebih hati-hati buat ngomong sesuatu supaya eric gak sakit hati.

home

Hyunjae baru saja tiba ke apartemen yang ia tempati bersama sang kekasih, Juyeon.

Satu minggu belakangan ini jadwal dinas di ruang Instalasi Gawat Darurat sangat padat, energinya seolah dikuras habis.

bagaimana tidak, dalam satu hari saja sudah puluhan pasien datang dengan berbagai kondisi medis.

menangis di jalan pulang.

sepertinya aku butuh menangis.

“carilah seseorang yang mampu membuatmu merasa aman serta nyaman. mereka yang bisa menjadi rumah bagi segala resah gelisah.” begitu kata kebanyakan orang.

“seperti apa rasanya rumah?”

“rumah untuk aku bisa tidur lelap tanpa perlu merasa dingin atau panas. aku ingin rumah yang nyaman, tanpa takut diusir sang empu.” ucap puan yang sejak belia hanya tidur beralaskan ubin kasar di tepian toko.

“rumah

bbangnyu

younghoon sama new kuliah di universitas yang sama, semester tiga. younghoon jurusan manajemen, new fisip.

mereka backstreet selama enam bulan. suatu ketika, ada orang yang nyebarin foto mereka berdua di grup angkatan. malam itu new sama younghoon kepergok lagi jalan jalan sambil pegangan tangan. terus orang orang yang homophobic ini selalu ngomongin hal jahat, ngatain new dan younghoon. sementara cewek cewek yang pernah ditolak younghoon malah ngejelekin dan ngatain new.

suatu hari, younghoon nelpon new dan ngajak ketemu di suatu tempat. younghoon bilang kalau dia ngerasa sakit banget pas ada orang yang jahatin new.. dia ngerasa dunia jahat gak kasih mereka tempat untuk saling mencintai.

new sama takutnya, cuma pribadi dia jauh lebih tenang dan kuat. dia bantu younghoon yakinin diri buat gak usah gubris omongan jahat orang, fokus aja sama “kita.”

sekuat apapun orang berusaha jatuhin mereka, kalau cinta mereka sekuat baja gak akan ada yang bisa misahin—kecuali maut memisahkan.

jadi, meski dunia gak punya tempat untuk mereka yang dianggap “menyimpang”, tapi mereka punya cinta yang kuat untuk saling menguatkan satu sama lain.

bahagia mereka, biarkan jadi amarah bagi orang. namun, amarah orang, jangan sampai merusak kebahagiaan mereka.

kalau mereka gak perduli sama kebahagiaan mereka, maka hancurnya mereka bisa jadi bahagia bagi orang jahat.

dancing in the moonlight

sudah tiga puluh menit joe habiskan untuk berjalan yang entah kemana tujuannya.

niatnya ingin menghirup udara dengan bebas, terlalu penat akibat segala rutinitas kampus. dosen yang banyak mau, teman-teman yang sedang quality time bersama kekasihnya, sementara dirinya selalu menghabiskan waktu sendiri. jangan tanyakan apakah ia memiliki kekasih, ia tidak punya waktu untuk itu.

joe, mahasiswa tingkat tiga jurusan seni musik di universitas berlin. joe memegang cello sebagai instrumennya. sejak berada di sekolah menengah, ia memiliki passion dalam seni musik. ia aktif mengikuti kegiatan seni musik, suaranya yang khas, keterampilan dalam memainkan berbagai alat musik menjadi alasan mengapa dirinya memilih jurusan dan universitas saat ini.

sebelum ia tinggal di berlin untuk melanjutkan studi, sempat terjadi perdebatan sengit antara dirinya dengan keluarga. joe sudah bukan lagi anak kecil, ia ingin kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. ketika puluhan tanya dilontarkan kepadanya tentang alasan memilih jerman dan seni musik, ia menjawab, “saya ingin hidup mengekspresikan diri dalam berbagai seni musik.”

sebenarnya itu hanyalah satu dari alasan klise yang ia lontarkan. joe sejak lama ingin hidup sendiri. meski tercukupi secara finansial, joe juga tertekan secara emosional. betapa lelahnya hidup dalam konstruk sosial. seolah hidup terjerat dalam ranjau. ia juga manusia pada umumnya yang butuh rehat dari penat.

bermodalkan tekad dan nekat, joe memutuskan untuk pindah ke berlin dan hidup sendiri. kota dan negara yang terasa begitu asing, tidak ada satu pun rekan ataupun kerabat yang dikenal. benar-benar hidup merantau sendiri. namun, ia tidak pernah merasa keberatan baik itu dari segi finansial ataupun lingkungan sosial. joe pandai dalam beradaptasi, hanya saja terkadang ia merasa kesepian kala melihat rekan-rekannya menghabiskan waktu dengan yang terkasih.


joe berjalan sambil menikmati lagu dari playlist kesukaannya melalui earphone. tanpa terasa langit mulai tampak jingga dan waktu pada jam di tangannya menunjukkan pukul enam petang, sedangkan dirinya belum tahu persis kemana arah tujuan.

dalam jarak dua meter dari pandangannya tampak papan petunjuk yang biasa ditujukan bagi para wisatawan yang menyambangi kota berlin, namun tidak disangka berguna pula baginya. meski hampir setiap sudut kota berlin sudah pernah ditelusuri, joe hari ini berjalan dengan isi kepala penuh sehingga butuh diingatkan untuk rehat dari peluh.

pada papan tersebut tertera destinasi terdekat adalah mauerpark satu kilometer dari tempat ia berdiri. mauerpark merupakan taman yang biasa disinggahi oleh wisatawan maupun warga lokal di kota berlin. joe hampir saja melupakan fakta bahwa malam ini malam minggu, tentu saja mauerpark selalu menghadirkan berbagai macam pertunjukkan seniman dan musisi jalanan dengan box hitam andalan.

setelah menempuh jarak satu kilometer, joe akhirnya tiba di tempat tujuannya. ada puluhan pasang kaki berlalu-lalang, sebagian menghampiri kerumunan yang membentuk lingkaran.

joe berinisiatif menghampiri pusat atensi tersebut, dan syukurnya ia mendapat tempat paling depan, terima kasih kepada pria tua yang mengalah dan memberi celah padanya.

riuh semua orang menyambut pusat atensi itu. joe berlaku serupa, ditatapnya dengan lamat-lamat, tampan sekali pria itu. sang musisi jalanan memperkenalkan diri sebagai kevin moon.

malam itu, kevin dengan biola kesayangannya membawakan instrumen lagu dancing in the moonlight milik toploader. sungguh perpaduan yang sangat pas bagi para pasangan menikmati malam dengan nuansa penuh romansa.

joe menyusuri pandangan ke sekitar, semua orang terlihat bahagia. ada yang sedang berdansa dengan pasangan, ada pula yang hanya duduk menikmati suasana malam.

semilir angin menerpa surai hitam kevin, yang justru membuat personanya memikat hati tiap pasang mata yang menatap. sang violinist memainkan musik dengan khidmat. jari-jari panjang dan lentiknya tersemat sempurna pada stik biola yang ia gerakan sesuai dengan tiap bait nada. sungguh malam yang sempurna bagi mereka yang sedang dimabuk asmara.

dibawah sinar rembulan, joe bersumpah bahwa ini kali pertamanya menaruh atensi kepada seseorang. paras rupawan sang violinist terpatri jelas dalam memorinya. karena selama ini, ia berpikir bahwa kisah cinta romansa hanyalah fiksi belaka.

namun kevin tahu, sejak awal ia berada ditengah pusaran manusia yang menikmati pertunjukannya itu, ada sepasang manik berwarna cokelat muda tidak berhenti menatapnya dalam.


tepat satu minggu sejak pertemuannya itu, joe memutuskan ke mauerpark. berharap agar ia bisa bertemu kembali dengan sang violinist dengan paras rupawan yang telah mencuri fokusnya belakangan ini.

waktu menunjukkan pukul delapan malam, semua orang tampak menikmati pertunjukan musik dari musisi lain. namun, sosok yang ditunggu belum tampak batang hidungnya. tumben sekali, pikir joe. menurut info yang ia dapati, sang violinist tidak pernah melewatkan satu hari pun menampilkan pertunjukan musik.

“ah, sepertinya lain kali saja. mungkin dia berhalangan hadir karena ada keperluan,” namun sebelum melangkahkan kaki untuk pulang, bahunya ditepuk oleh salah satu pengunjung dan memberikannya secarik sticky note berwarna merah muda bertuliskan:

“kamu ingin bertemu denganku? datanglah ke taman. aku akan menunggumu dalam lima menit.

– kevin moon.

tanpa ada ragu, joe berlari secepat mungkin menuju taman untuk menemui sang pujaan hati.

dari kejauhan, tampak kevin tengah duduk di bangku taman.

joe menyapa kevin, “sudah lama menunggu?”

kevin melirik jam tangan kemudian memamerkan senyum paling manisnya, “kamu datang tepat waktu. sini duduk.”

gugup sedari tadi joe redam mati-matian, ia melangkah ragu dan duduk di sebelah kevin. “uhm...kamu, bagaimana tau kalau aku mencarimu?”

*“semua orang juga bisa menebak kalau kamu mencariku.” katanya. *“lagipula aku sudah tau sejak kali pertama kamu melihatku.”

semburat rona merah muda pada pipi dan telinga joe membuat kevin terkekeh pelan.

“kamu manis sekali.” kevin mengulurkan kedua tangan, “oh iya, perkenalkan namaku kevin moon, kamu boleh memanggilku kevin.”

“a-aku kim joe, panggil saja joe.”

“hey, kenapa kamu gugup? santai saja aku jinak, kok.”

“habisnya kamu tampan sekali.” joe bergumam pelan, namun indera pendengaran kevin tajam.

“kamu juga tampan. kalau dari nama kamu, sepertinya kamu bukan penduduk asli disini?”

“iya, aku berasal dari korea selatan. uhm, sebenarnya namaku kim sunwoo. nama joe pemberian dari bunda supaya mudah diucapkan.”

“kalau begitu kita berasal dari negara yang sama.” kevin terdengar antusias, jarang sekali ia bertemu dengan orang dari negara asalnya.

“sepertinya kamu orang ke lima yang aku kenal dari negara yang sama, selain teman satu jurusan.”

“ah, begitu...” kevin mengangguk.

“kevin, kamu ada pertunjukan malam ini?”

“malam ini aku datang sebagai pengunjung.”

joe mengangguk, “kalau begitu, malam ini kamu bisa menemaniku jalan-jalan sambil ngobrol?”

“tentu saja.”

kevin mengeluarkan dua kaleng bir dari kantung plastik. kevin memang sengaja membeli dua karena pertemuan keduanya merupakan rencana kevin. satu kaleng bir diberikan kepada joe, “terimakasih.”

keduanya memutuskan untuk berkeliling menyusuri tiap sudut mauerpark. menikmati suasana malam sembari melihat beberapa bangunan dengan infrastruktur kuno khas eropa yang ciamik.

“joe, kalau boleh tahu apa alasan kamu memutuskan untuk tinggal di Berlin?”

“sebenarnya aku memang ingin kuliah disini. aku mengambil jurusan seni musik supaya bisa belajar berbagai jenis musik. musik adalah caraku berekspresi. rasanya menyenangkan ketika musik yang aku ciptakan disukai pendengar, seolah segala penat yang aku curahkan dalam musik bisa tersampaikan dengan baik.”

kata demi kata yang membentuk kalimat dilontarkan joe, kevin dengar dengan penuh perhatian. joe terlihat sangat tampan ketika berbicara tentang apa yang ia sukai. joe seperti magis yang mampu menyihirnya. kevin lupa fakta bahwa malam ini kali pertama keduanya berbicara, namun kevin sudah jatuh terlalu dalam.

“kamu bagaimana bisa tinggal disini?”

“aku sejak umur dua belas tahun tinggal disini. aku ikut kedua orangtua yang menjalani bisnis disini.”

“kamu sudah bekerja atau masih kuliah?”

“aku baru lulus tahun ini, jurusan psikologi.”

“astaga, aku kira kamu jurusan seni musik, dilihat dari lihainya kamu memainkan biola.”

“aku belajar biola sejak usia sepuluh tahun. sebenarnya niatku berbeda dengan musisi jalanan lainnya. mereka bekerja demi sesuap nasi, sedang aku butuh validasi. setiap malam minggu aku sengaja tampil untuk menghibur diriku dan orang-orang disini. ketika aku bermain musik, seluruh perhatian tertuju padaku. aku suka diperhatikan.”

malam itu, joe terpana melihat sosok yang dalam beberapa hari mampir dalam ingatan. siluet kevin dibawah cahaya rembulan bak mahakarya sempurna yang akan selalu ia puja.

keduanya berbincang mengenai banyak hal. tentang hewan peliharaan yang amat disayangi, hobi, makanan kesukaan, pengalaman selama hidup di berlin, dan perihal lainnya.

kevin melirik jam di tangannya, “sepuluh menit lagi akan ada pertunjukan. ayo kita kesana.”

kevin menarik pergelangan tangan joe tanpa permisi, dan joe hanya mengikuti.

keduanya telah tiba di tempat pertunjukan musik dan tari. setiap malam minggu mauerpark menyuguhkan berbagai pertunjukan seni. biasanya mulai pukul delapan malam musisi jalanan memainkan berbagai macam alat musik seperti biola, cello, gitar, keyboard, dan lainnya. semua orang menyanyi bersama, berdansa, bahkan sekedar duduk menikmati pertunjukan.

sang musisi memperkenalkan diri sebagai arthur dan memberitahukan bahwa ia akan memainkan instrumen lagu dancing in the moonlight milik toploader.

“aku jadi teringat lagu ini yang membuatku terpana waktu kamu memainkannya dengan biola.”

“lain kali aku pengen lihat kamu mainkan lagu ini, boleh?”

“aku belum pernah membawakan lagu ini menggunakan instrumen cello. nanti aku coba.”

kevin mengangguk antusias, alibinya berjalan sesuai rencana agar bisa bertemu kembali.

“joe, mau menari bersamaku?”

“aku ragu. sepertinya aku lupa bagaimana cara menari.”

“kapan kamu terakhir menari?”

saat usiaku lima belas tahun. sepertinya tubuhku sudah mulai kaku.”

“kamu suka menari?”

“suka sekali.”

“lantas, mengapa berhenti?”

“keluargaku melarang laki-laki dalam keluarga menari. mereka bilang bahwa menari hanyalah untuk perempuan.”

ingatan pilu itu masih tergambar dengan jelas dalam pikirannya. kala itu usianya genap lima belas tahun, masa-masa remaja yang ingin mengeksplor segala hal. pertama kali ia melihat adik perempuannya menari dengan cantik, terbesit dalam pikiran joe “bagaimana jika suatu saat dirinya menjadi penari hebat?”

joe sempat membicarakan perihal keinginannya ikut les yang sama dengan adiknya, namun ayah menentang keras. “laki-laki itu harus melakukan kegiatan yang maskulin, agar dianggap laki-laki sejati. ayah tidak akan membiarkanmu menari.”

bukan joe jika menuruti aturan keluarga. diam-diam ia menyisihkan sebagian uang untuk mendaftar les menari.

setelah dua bulan joe belajar menari, keterampilannya diberi acungan jempol dan sambutan meriah dari sang tutor. “joe, saya bangga sama kamu. kamu hebat bisa begitu lancar menari dalam waktu dua bulan.”

sepulang menari, joe disambut dengan tatapan sinis ayah di depan pintu, “bukankah ayah sudah bilang, kalau laki-laki itu tidak boleh menari. kamu itu bukan perempuan. kalau kamu masih mengikuti les menari itu, ayah akan memindahkanmu ke sekolah lain.”

joe umur lima belas tahun tidak mendapatkan kesempatan untuk meraih mimpi.

“tidak apa-apa, biarkan tubuhmu menari mengikuti intuisi. lagipula menari bukan untuk menunjukkan kehebatan tetapi untuk menghibur diri.”

ajakan kevin dijawab dengan dua kali anggukkan ragu dari joe. joe ingin keluar dari zona amannya. mungkin kesempatan ini hanya sekali dalam hidupnya.

perlahan musik dimainkan, pengunjung mulai menikmati suasana. lagu dancing in the moonlight memang sempurna sebagai pengiring tari dibawah cahaya rembulan.

we get it almost every night when that moon is big and bright it's a supernatural delight everybody's dancing in the moonlight

kevin mengulurkan tangan, “you can do it, joe. trust yourself.”

joe memegang tangan kevin, kemudian tangannya memeluk pinggang kevin.

proporsi tubuh kevin yang ramping membuat tangan joe terlihat sempurna kala merengkuhnya. sementara tangan kevin melingkari leher joe.

“aku yakin ingatanmu masih menyimpan bagaimana gerakan menari yang dulu kamu suka. disini, tidak akan ada yang menghujatmu. kita semua manusia, lelaki atau perempuan berhak untuk mengekspresikan diri dengan cara sendiri. biarkan musik menuntun tubuhmu untuk menari.”

indera pendengaran joe menangkap afirmasi itu dengan baik, menstimulasi otaknya untuk mengikuti kata hati.

everybody here is out of sight they don't bark and they don't bite they keep things loose they keep it tight everybody's dancing in the moonlight

dancing in the moonlight everybody's feeling warm and bright it's such a fine and natural sight everybody's dancing in the moonlight

perlahan kaki joe bergerak ke kanan, kemudian ke kiri mengikuti insting dan irama musik. sempat beberapa kali joe hampir jatuh, namun joe tidak menyerah.

“maaf kevin, gerakanku terlalu kaku.”

tatapan mata kevin yang hangat tidak mau berpaling barang sedetik pun.

“gerakanmu indah sekali, joe. aku tidak menyesal meyakinkanmu untuk menari denganku.” lagi, kevin menghujani joe dengan banyak pujian membuat jantung joe berdegup cepat.

ada banyak hal yang tidak joe sangka. kevin membuatnya merasakan banyak hal untuk pertama kali dalam hidup.

we like our fun and we never fight you can't dance and stay uptight it's a supernatural delight everybody was dancing in the moonlight

perbedaan tinggi diantara keduanya terpaut beberapa sentimeter, memudahkan joe untuk menempelkan dahinya pada dahi kevin.

dancing in the moonlight everybody's feeling warm and bright it's such a fine and natural sight everybody's dancing in the moonlight

mata keduanya saling mengunci, sudut bibir yang tertarik melengkung melawan gravitasi, sama-sama menikmati momen yang belum tentu bisa datang kembali.

musik telah berhenti, diikuti riuh tepuk tangan dari seluruh pengunjung.

sementara dua insan itu masih tetap pada tempatnya, “terimakasih kevin, kamu orang pertama yang membantuku mengembalikan kepercayaan diri untuk menari.”

“dan aku benar-benar terpukau akan gerakanmu. kamu menari begitu indah, lain kali mau ajari aku?”

“hey, seharusnya kamu yang mengajariku. tubuhku kaku, tidak seperti tubuhmu bergerak lentur. buktinya aku beberapa kali hampir jatuh.”

kevin terkekeh, mungkin pujiannya terdengar hiperbola, tapi benar adanya.

“kalau begitu, lain waktu kita belajar menari bersama, mau?”

“berarti kita punya kesempatan untuk bertemu lagi?”

“memangnya kamu tidak mau bertemu denganku lagi, joe?”

“bukan begitu..” joe menggigit bibir, ia gugup.

“santai, joe. aku paham maksudmu.” kevin menahan senyum, lucu sekali, pikirnya.

keduanya memutuskan untuk tidak pulang ke rumah masing-masing, menghabiskan waktu bersama hingga fajar menampakkan sinarnya.

does the sun promise to shine? no, but i will- even behind the darkest clouds, and no promise will make it shine longer or brighter for that is its fate, to burn until it can burn no more. to love you is not my promise but my fate- to burn for you until i can burn no more

love, her, wild by atticus


teruntuk kalian yang punya mimpi namun tidak sempat digapai, asa yang pernah sirna tidak membuatmu menjadi orang yang gagal. mungkin memang belum jalannya, atau Tuhan punya rencana yang jauh lebih baik.

teruntuk kalian yang hampir menyerah, terimakasih sudah bertahan meski bersusah payah.

teruntuk kalian yang mencinta, perasaan kalian itu valid. tidak ada yang salah dengan menaruh rasa pada seseorang.

seiring berjalannya waktu, kita akan paham bahwasanya menjadi berbeda tidak berarti salah. menjadi orang yang tidak sama seperti pada umumnya, bukan berarti hak untuk hidup dibiarkan redup.

kamu punya otoritas untuk memilih jalan hidup sendiri.

teruntuk kalian semua terimakasih telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini.

segala bentuk feedback yang kalian beri sangat saya apresiasi.

semoga hal-hal baik selalu menyertai!

salam penuh cinta, siska.

sering aku mendengar berbagai ucapan dari mereka yang sok tahu tentang hidupku.

memang tampaknya hidupku seperti orang yang tanpa beban, tertawa ketika sedang bergurau, tersenyum ketika dalam hati meringis. kehidupan ini yang orang bilang nikmat, justru bagiku menyiksa teramat.

“hidup kamu enak. punya rumah mewah, tidak perlu menunggu antrian transportasi umum, tidak perlu berdesak-desakan dengan orang.”

“kamu harusnya bersyukur punya orangtua yang lengkap, membiayai hidupmu hingga dewasa, tidak perlu banting tulang memenuhi kebutuhan.”

“kamu punya banyak uang, tidak perlu takut miskin.”

kalau menurut mereka hidupku sempurna, maaf, itu hanya luarannya saja.

kebutuhan finansialku terpenuhi, tetapi aku menderita secara emosional.

sakit bukan main kali pertama mendengar perkataan kasar dari orangtua, diperlakukan tidak seperti seorang anak yang disayang, setiap saat mendengar cacian. ingin mengeluh, kepada siapa? Tuhan sudah terlanjur menakdirkan aku hidup sebagai diriku saat ini.

memang betul pada kenyataannya setiap permasalahan akan membuat seseorang tumbuh menjadi lebih kuat. namun siapa yang tahu, sampai kapan kekuatan itu ada?

aku pernah beberapa waktu menjadi sosok yang haus validasi. menyangkal setiap orang yang berkata seolah paling tahu hidupku. aku membuang-buang waktu menjelaskan betapa menyedihkannya hidupku dibalik segala hingar bingar kemewahan yang tampak bak hidup idaman setiap orang.

setelah disadari, tiada guna. manusia akan selalu percaya pada apa yang mereka ingin percaya, bukan sebuah fakta yang membuat mereka berpikir dua kali.

aku telah memutuskan untuk memasang topeng kebahagiaan yang aku tunjukkan kepada orang lain. toh, memang tidak perlu terlihat menyedihkan dihadapan mereka yang mencaci, bukan? tidak perlu juga memperlihatkan sisi paling kelam kepada mereka yang tidak mau tahu.

diriku yang paling tahu betapa sengsaranya hidup dalam rumah yang dianggap mewah ini. segala luka dan peristiwa traumatis yang selama ini aku genggam sendiri adalah saksi betapa sulitnya menjalani hidup menyedihkan namun yang aku dengar hanyalah “kamu harus bersyukur.”

hey, bahkan tanpa kalian ingatkan pun aku sudah mencoba. aku sudah menjadi setegar batu karang yang dihantam ombak. meski begitu, tolong jangan salahkan aku ketika masa kuatku telah luruh. aku juga manusia, jangan lupakan fakta itu.

konsep bersyukur itu seperti apa, sih? kenapa orang-orang hanya bisa menyuruhku bersyukur dan tidak boleh mengeluh? apa salah jika suatu waktu aku marah kepada dunia? apa salah jika aku membenci diriku sejak berumur tujuh tahun?

bersyukur—ya, aku sedang mencoba. bukan berarti aku tidak boleh marah ketika melihat hidup orang lain yang dipenuhi kasih sayang dari yang terkasih.

aku tumbuh dengan luka. hanya saja mereka tidak mau tahu selelah apa diriku bertahan hingga detik ini.


tulisan ini aku curahkan pada tanggal 20 juli 2021 jam 07.00 untuk meredam amarah dan resah.

— siska.

before you read, please be careful about trigger warning⚠️

tw // homophobic, self harm, mention about death, anxiety, hate speech.


acara perhelatan malam natal kala itu sangat meriah. dihadiri oleh orang-orang penting dari berbagai kalangan, mulai dari selebriti, anak pejabat, pengusaha, dan orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. semua orang berkumpul, saling menyapa meski tidak begitu mengenal. hong jisoo, kerap disapa dengan joshua merupakan salah satu pebisnis ternama yang sukses diusia terbilang muda. wajahnya kerap muncul pada cover majalah “orang yang menginspirasi.” channel televisi pun kini berbondong-bondong mengundang joshua untuk wawancara.

pembawa acara menginterupsi agenda berbincang antar kolega, menyambut dengan meriah salah satu bintang tamu yang mengisi acara. lee seokmin, namanya. lelaki dengan wajah tampan rupawan, jawline yang membuat figur wajahnya tegas, serta proporsi tubuh yang sempurna: tingginya semampai, dada yang bidang, bisep yang terbentuk dibalik jas formal berwarna burgundy yang ia kenakan membuat orang berpikir bahwa ia rutin melakukan gym. semua pasang mata tertuju pada seokmin, tak terkecuali joshua. tampan, pikirnya. ia bersumpah jika dirinya tidak mampu memalingkan atensinya dari sang bintang tamu.

setelah menaiki panggung nan megah, seokmin mengambil alih acara.

“selamat malam tamu undangan yang saya hormati. terimakasih atas kesediannya untuk menghadiri acara malam ini. sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri, nama saya seokmin. malam ini saya akan mempersembahkan sebuah lagu yang sesuai dengan agenda malam ini, yaitu lagu bernuansa natal.”

malam itu joshua tidak perduli siapapun yang menyapa, fokus sepenuhnya kepada sang penyanyi yang berhasil mencuri hati.

joshua sedari dulu menentang keras bagaimana dengan bangganya orang bercerita mengenai cinta pandangan pertama. karena sungguh, dirinya tidak pernah tertarik kepada siapapun hingga usianya saat ini menginjak dua puluh enam tahun— tidak sampai lee seokmin membuatnya terjaga selama dua puluh empat jam.

dua hari kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali.

lelaki itu, yang mengisi pikirannya sejak malam perhelatan—seokmin sedang memesan minuman. saat hendak membayar, tangannya ditahan oleh sosok lelaki. “biar saya yang traktir.”

lelaki itu bingung setengah mati, apakah mereka saling mengenal?

“ini minumnya.”

“terimakasih, tapi apa kita saling mengenal?”

“ngobrolnya sambil duduk, yuk.” joshua menunjuk tempat duduk dekat jendela, mengisyaratkan seokmin untuk mengikuti.

joshua mengulurkan tangan, “perkenalkan nama saya hong jisoo, kamu boleh panggil saya joshua.”

keduanya berjabat tangan, “nama saya lee seokmin. apa kita pernah bertemu?”

joshua kikuk, reflek menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal, “kita pernah bertemu di acara malam natal, waktu itu kamu jadi bintang tamu.”

si lawan bicara mengangguk, “ah iya, saya baru ingat, hong jisoo... maksud saya, joshua pebisnis yang lagi trendy itu, kan?”

bagi joshua, seokmin itu pribadi yang hangat. siapapun yang mengenalnya akan berkata serupa. pernah suatu ketika seokmin pulang dalam keadaan gemetar, sorot matanya sarat akan amarah dan derita. direngkuhnya tubuh seokmin dengan erat, punggungnya diusap lembut demi memberi efek tenang. seokmin selalu punya cara untuk menyalurkan kasih sayangnya kepada siapapun yang terkasih. hangatnya seokmin, mampu menutupi dinginnya joshua.

bagi joshua, seokmin itu pribadi yang lembut. pernah suatu waktu ia menangis ketika melihat kucing mungil berwarna putih lusuh yang sedang mengais tumpukan sampah demi mengisi perut. kucing itu ditendang oleh manusia, yang pada hakikatnya sesama makhluk hidup. kucing itu dibawanya pulang, “aku mau rawat kucing ini biar dia gak ditendang lagi sama orang jahat.” hingga detik ini selalu ia rawat dan menemaninya ketika joshua pergi dinas ke luar kota. cathy, namanya. kini kucing itu berisi dan tampak gembul, bulunya panjang dan lembut sekali. seokmin merawat dengan penuh kasih sayang.

bagi joshua yang hidup penuh ambisi, seokmin adalah segala hal-hal baik yang Tuhan beri. seokmin begitu sederhana, tidak pernah ia dengar seokmin banyak pinta. joshua menyukai kekasihnya itu bukan hanya paras yang rupawan, namun personalitinya yang membuat dirinya enggan berpaling.

sederhananya seokmin, bukan berarti ia hidup tanpa mimpi. ia hanya sadar bahwa hidupnya sudah terlalu banyak menderita. dulu mimpinya tinggi, ingin melanjutkan pendidikan hingga S3 melalui beasiswa di universitas ternama. namun ia merasa payah, tidak sanggup memulai meraih mimpi karena rasa pesimis mendominasi.

saat ini inginnya hanya satu, hidup bahagia bersama yang terkasih tanpa perlu mendengar caci maki.


sore itu seokmin duduk termenung di sudut kamar. ponsel ia genggam dengan erat, tubuh gemetar khas orang menahan tangis. dadanya terasa sesak, ia menyesal kali ini tidak menggubris perkataan joshua. harusnya ponsel itu tetap dalam mode mati dan disimpan dalam laci.

pikirannya tidak dapat fokus sejak insiden dua hari silam, saat ada orang dengan kurang ajarnya memposting fotonya dengan joshua yang sedang bergandengan tangan di restauran.

satu jam ia duduk termenung menatap langit yang telah berubah menjadi jingga. pikirannya berkelana, terlalu berisik. pesan-pesan anonim yang ia terima cukup membuatnya merasa jadi manusia paling hina.

seokmin scroll akun twitter yang selama dua hari ini notifikasinya tidak kunjung berhenti.

satu persatu ia baca

“ganteng-ganteng kok homo.”

“gila ya dunia udah mau kiamat aja masa kaum homo terang-terangan gini.”

“kalo orang homo ngewenya gimana? titit dimasukin ke lobang pantat?”

“Tuhan menciptakan adam dan hawa, bukan adam dan adam.”

“dasar homo gak guna, lu sakit jiwa makanya demen sesama laki. berobat sana lu ke rsj.”

“yang uke siapa? si seokmin atau cowok si joshua?”

“mau-mau aja si joshua cakep begitu homoan sama lu.”

“orang homo kayak lo cuma sampah masyarakat, bisa-bisa lo nyebarin penyakit hiv.. ih takut banget.”

“mana ada orang normal yang suka sesama jenis.”

“harusnya semua homo musnah aja.”

“lo mending jauh-jauh dari joshua, kalo perlu mati sekalian. jangan rusak joshua jadi homo kayak lo.”

tangannya gemetar hingga handphone yang ia pegang terjatuh ke lantai. tangis yang ia tahan sedari tadi akhirnya pecah, tidak sanggup lagi membaca pesan jahat yang ditujukan kepadanya dan sang kekasih.

mengapa semua orang menyuruhnya untuk mati?

mengapa semua orang menganggap dirinya sampah?

memangnya kenapa kalau seokmin suka laki-laki?

memangnya kenapa kalau seokmin berbeda dari orang pada umumnya?

memang apa yang salah dari mencintai seseorang?

memangnya ia harus selalu memenuhi ekspektasi semua manusia di muka bumi? kalau begitu, kapan ia menemui bahagia? sampai kapan ia harus berpura-pura?

sudah cukup selama ini seokmin menjadi manusia yang sempurna menurut mereka. sudah cukup baginya dibuang oleh keluarganya sendiri. seokmin tidak lagi ingin memakai topeng diatas topeng. senyum palsu itu—seokmin sangat benci ketika menatap figurnya pada cermin. ia benci dirinya bukan karena ia berbeda, tetapi karena senyum palsu itu membuatnya tidak mengenal diri sendiri.

selama ini seokmin hidup dalam tekanan, dituntut melakukan A-Z, hidupnya didikte sedemikian rupa agar dapat memenuhi ekspetasi semua orang. tidak ada satupun yang membiarkan dirinya memilih jalan hidup sendiri. bahkan seringkali ia bertanya, siapa lee seokmin itu? ia bahkan merasa asing dengan dirinya sendiri.

kepalanya pusing bukan main, terlampau berisik. kedua tangannya menutup telinga dengan rapat. berisik. seokmin butuh ketenangan. tolong kali ini jangan lagi ada bisikan menyuruhnya untuk mati.

“kamu gak berguna, lebih baik mati.”

“gak ada yang sayang sama kamu, jadi untuk apa bertahan hidup.”

“ambil pisaumu di laci, tidak ada yang perlu ditakutkan kalau kamu mati. kamu tidak akan membaca pesan jahat itu lagi.”

dengan tangan uang yang tremor, ia menekan tombol dial pada emergency call. tak perlu menunggu lama, ada jawaban dari seberang sana.

“ada apa sayang? aku malam ini pulang agak malam, ya.”

tidak ada sahutan.

“sayang? are you okay?”

“shua, aku takut.. aku.. aku gemeter.. tolong, berisik.. kepalanya sakit.. gamau berhenti..” lirih seokmin.

“sayang, ikutin intruksi aku, tarik napas dalam, keluarin perlahan. ayo kamu bisa. tarik napas...keluarin perlahan. jangan takut, ada aku. kamu gak sendiri, kamu punya aku. tunggu, aku pulang sekarang.” joshua merasa dadanya sakit, seperti ada yang memukul dadanya. sebisa mungkin ia pun memenangkan diri, seokmin butuh dirinya kali ini.

“tanganku berdarah.. aku gak bisa rasain apa-apa.”

“sayang, pisaunya jauhin ya? tangan kamu berharga buatku. jangan lukai diri kamu. nanti sampai rumah aku obati. tolong simpan dulu ya pisaunya?”

“tunggu aku pulang, ya? nanti aku peluk yang lama. keluarin keselnya, sedihnya, kecewanya. kalau kamu mau nangis, boleh. tapi jangan sakitin diri kamu, ya?”

yang disana tidak bergeming, “kamu denger apa yang aku bilang, kan?”

“i-iya, pulang.. aku butuh kamu.”

telepon dimatikan sepihak. joshua bersyukur hari ini tidak ada lagi rapat, ada beberapa berkas namun bisa diurus nanti.

bergegas joshua menuju parkiran dan mengemudi dengan cepat. seokmin-nya sedang tidak baik-baik saja.

happy birthday, kak tetsu! karena lu orangnya sangean, jadi gua mau ngasih tulisan jorok tapi amatir. udah lama gak nulis jorok gua jadi lupa hahaha. maaf ya ini explicit words banget jangan kaget, tapi emang sangkev tuh vibesnya kayak pasangan yang sange dikit ngewe (maklum sih ya namanya juga pasangan hormonal). love you bestie<3

— siska


sangyeon duduk dengan posisi menyilangkan kakinya, tangannya dilipat, matanya memberikan tatapan tajam pada kevin yang tengah duduk dibawah kakinya.

“udah dibilangin selama aku dines jangan macem-macem. kamu cuma aku tinggalin tiga hari tapi udah berani pamer foto lagi masukin lubang pake dildo? gak cukup dikontolin sama aku tiap hari? hm?” aura intimdasi sangyeon bak aroma pengharum ruangan, menyeruak hingga kevin rasanya seperti dicekik secara tidak langsung.

“ma-maaf, kak. aku...aku cuma kepingin kasih kejutan. aku kira kakak bakalan suka,” suara kevin mulai terdengar serak, tubuhnya mulai bergidik ketika melihat tatapan tajam dari kekasihnya itu.

sangyeon mengangkat dagu kevin hingga menatap ke arahnya, “aku gak suka sama orang yang suka ngebantah. kamu pikir udah keren pamer begitu?”

“kak, please aku minta maaf?”

“kamu lebih suka disumpel pake dildo ketimbang punyaku?”

“aku lebih suka punya kakak, mau dikontolin sampe keluar berkali-kali. mau diewe sama kakak sampe nangis, please”

sangyeon berdecih, tatapannya kini meremehkan kekasihnya yang tengah bertekuk lutut itu. “telanjang! aku mau liat kamu main pake dildo.”

bukan. bukan itu yang kevin mau. kevin memohon belas kasih agar kekasihnya memenuhi permohonannya, namun titah sangyeon bukanlah sesuatu yang bisa dibantah.

kevin menurut, melucuti tiap helai kain yang menutupi tubuhnya hingga telanjang bulat.

“ngangkang! kamu main sendiri dan teriakin namaku.”

diambilnya dildo yang berada di nakas kemudian diolesi pelumas. perlahan kevin menggesekkannya pada lubang rektum. basah dan dingin, ia membayangkan dildo tersebut adalah penis milik sangyeon. sementara tangan kiri kevin bermain pada puting berwarna merah muda yang kini mulai menegang.

dildo dimasukan ke lubang rektum milik kevin, digerakkan naik turun sembari membayangkan penis sangyeon mengisi lubang rektumnya. “ahhh kak sangyeon...”

“enak gak diewe pake dildo?”

“enakan ahh punya kakak. mau digenjot sampe mentok sama kak sangyeon..hiks.”

“gak enak tapi kok berisik banget ya?”

“aku sambil bayangin punya—mmhh kakak.”

“binal banget kamu, kev. enak ya digenjot sama kakak sampe mentok?”

“ahhh kak genjot sampe mentok.”

sangyeon melihat pemandangan luar biasa, wajah kevin yang sedang melakukan onani di hadapannya, surai hitam yang basah oleh keringat, serta desahan kevin yang menyebut namanya seperti candu bak alunan merdu. bagi sangyeon, ini kali pertama melihat seseorang beronani membayangkan dirinya bisa seindah ini.

“kak-ahh aku keluar..” tubuh kevin gemetar seiring pelepasan. pening luar biasa kevin rasakan, bagaimana bisa onani senikmat ini ketika membayangkan dirinya dibuat hancur oleh sangyeon.

belum sempat kevin bernapas lega, tubunnya digendong oleh sangyeon menuju tempat tidur. “kali ini aku bakalan ngewein kamu sampe nangis.”

milju one shot au

before you read, please be careful about trigger warning⚠️

tw // homophobic, self harm, mention about death, anxiety, hate speech.


acara perhelatan malam natal kala itu sangat meriah. dihadiri oleh orang-orang penting. semua orang berkumpul, saling menyapa meski tidak begitu mengenal. lee hyunjae, merupakan salah satu pebisnis sukses. wajahnya muncul pada cover majalah “orang yang menginspirasi.” channel televisi pun kini berbondong-bondong mengundang hyunjae pada acara wawancara.

pembawa acara menginterupsi agenda berbincang antar kolega, menyambut dengan meriah salah satu bintang tamu yang mengisi acara. lelaki itu bernama lee juyeon. proporsi tubuh yang tinggi, tidak pula terlalu berisi. proporsi semampai dibalut dengan setelan jas berwarna burgundy. hyunjae bersumpah jika dirinya tidak mampu memalingkan atensinya dari sang bintang tamu.

setelah menaiki panggung nan megah, lee juyeon mengambil alih microphone.

“selamat malam tamu undangan yang saya hormati. terimakasih atas kesediannya untuk menghadiri acara malam ini. sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri, nama saya lee juyeon. malam ini saya akan mempersembahkan sebuah lagu yang sesuai dengan agenda malam ini, yaitu lagu bernuansa natal.”

malam itu hyunjae tidak perduli siapapun yang menyapa, fokus sepenuhnya kepada sang penyanyi yang berhasil mencuri hati.

hyunjae menentang keras bagaimana dengan bangganya orang bercerita mengenai cinta pandangan pertama. karena sungguh, dirinya tidak pernah tertarik kepada siapapun hingga usianya saat ini menginjak dua puluh enam tahun— tidak sampai lee juyeon membuatnya terjaga selama dua puluh empat jam.

dua hari kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali.

lelaki itu, lee juyeon sedang memesan minuman. saat hendak membayar, tangannya ditahan oleh sosok lelaki. “biar saya yang traktir.”

lelaki itu bingung setengah mati, apakah mereka saling mengenal?

“ini minumnya.”

“terimakasih, tapi apa kita saling mengenal?”

“ngobrolnya sambil duduk, yuk.” hyunjae menunjuk tempat duduk dekat jendela, mengisyaratkan juyeon untuk mengikuti.

hyunjae mengulurkan tangan, “perkenalkan nama saya lee hyunjae, kamu boleh panggil saya hyunjae.”

keduanya berjabat tangan, “nama saya lee juyeon. apa kita pernah bertemu?”

hyunjae menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal, “kita pernah bertemu di acara malam natal, waktu itu kamu jadi bintang tamu.”

si lawan bicara mengangguk, “ah iya, saya tau. lee hyunjae, pebisnis yang lagi trendy itu, kan?”

bagi hyunjae, juyeon itu pribadi yang hangat. siapapun yang mengenalnya akan berkata serupa. pernah suatu ketika hyunjae pulang dalam keadaan gemetar, sorot matanya sarat akan amarah dan derita. direngkuhnya tubuh hyunjae dengan erat, punggungnya diusap lembut demi memberi efek tenang. juyeon selalu punya cara untuk menyalurkan kasih sayangnya kepada siapapun yang terkasih. hangatnya juyeon, mampu menutupi dinginnya hyunjae.

bagi hyunje, juyeon itu pribadi yang lembut. pernah suatu waktu ia menangis ketika melihat kucing mungil berwarna putih lusuh yang sedang mengais tumpukan sampah demi mengisi perut. kucing itu ditendang oleh manusia, yang pada hakikatnya sesama makhluk hidup. kucing itu dibawanya pulang, “aku mau rawat kucing ini biar dia gak ditendang lagi sama orang jahat.” hingga detik ini selalu ia rawat dan menemaninya ketika hyunjae pergi dinas ke luar kota. cathy, namanya. kini kucing itu berisi dan tampak gembul, bulunya panjang dan lembut sekali. juyeon merawat dengan penuh kasih sayang.

bagi hyunjae yang hidup penuh ambisi, juyeon adalah segala hal-hal baik yang Tuhan beri. juyeon itu sederhana, tidak pernah hyunjae dengar juyeon banyak pinta. hyunjae menyukai kekasihnya itu bukan hanya paras yang rupawan, namun personalitinya yang membuat hyunjae enggan berpaling.

sederhananya juyeon, bukan berarti ia hidup tanpa mimpi. ia hanya sadar bahwa hidupnya sudah terlalu banyak menderita. dulu mimpinya tinggi, ingin melanjutkan pendidikan hingga S3 melalui beasiswa di universitas ternama. namun ia merasa payah, tidak sanggup memulai meraih mimpi karena rasa pesimis mendominasi.

saat ini inginnya hanya satu, hidup bahagia bersama yang terkasih tanpa perlu mendengar caci maki.


sore itu juyeon duduk termenung di sudut kamar. ponsel ia genggam dengan erat, tubuh gemetar khas orang menahan tangis. dadanya terasa sesak, ia menyesal kali ini tidak menggubris perkataan hyunjae. harusnya ponsel itu tetap dalam mode mati dan disimpan dalam laci.

satu jam ia duduk termenung mematap langit senja yang telah berubah menjadi jingga. pikirannya berkelana, terlalu berisik. pesan-pesan anonim yang ia terima cukup membuatnya merasa jadi manusia paling hina.

“ganteng-ganteng kok homo.”

“gila ya dunia udah mau kiamat aja masa kaum homo terang-terangan gini.”

“kalo orang homo ngewenya gimana? titit dimasukin ke lobang pantat?”

“dasar homo gak guna, lu sakit jiwa makanya demen sesama laki. berobat sana lu ke rsj.”

“yang uke siapa? lu atau cowok lu, si hyunjae itu?”

“gak mungkin sih lu yang ukenya. masa uke badannya keker, gak pantes tau.”

“mau-mau aja si hyunjae cakep begitu homoan sama lu.”

“orang homo kayak lu cuma sampah masyarakat, bisa-bisa lo nyebarin penyakit hiv/aids ih takut banget.”

juyeon tidak sanggup lagi membaca pesan jahat yang ditujukan kepadanya dan hyunjae.

memangnya kenapa kalau juyeon suka laki-laki?

memangnya kenapa kalau juyeon berbeda dari orang pada umumnya?

memangnya juyeon harus selalu memenuhi ekspektasi semua manusia di muka bumi? kalau begitu, juyeon kapan menemui bahagia? sampai kapan ia harus berpura-pura demi disukai banyak orang?

sudah cukup selama ini juyeon menjadi manusia yang sempurna menurut mereka. juyeon tidak lagi ingin memakai topeng diatas topeng. senyum palsu itu, juyeon benci ketika menatap figurnya pada cermin. ia benci dirinya bukan karena menjadi berbeda, tetapi karena senyum palsu itu membuatnya tidak mengenal diri sendiri.