Kata orang, cinta tidak harus memiliki. Bagi mereka yang berhati lapang, mengikhlaskan adalah sebuah keharusan tatkala mempertahankan menjadi hal yang menyulitkan.
Namun aku memilih untuk mempertahankan sesuatu yang sepertinya tak lagi terasa sama. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sepasang insan dalam menjalin hubungan. Terlebih aku dan Mark menjalani Long Distance Relationship, dan itu bukan perkara yang mudah. Kita sudah menjalin hubungan sejak kelas 11. Setelah lulus, ia mengikuti kehendak orang tuanya untuk melanjutkan studi di London, sedangkan aku melanjutkan studi di salah satu Universitas impianku.
Sebelum keberangkatannya, kita menghabiskan waktu bersama dan berbincang mengenai hubungan kita.
“Perth, menurut kamu apa kita sanggup ldr?”
“Mark, aku gak permasalahin jarak. Aku cuma minta satu hal, karena kita udah mutusin untuk tetap lanjutin hubungan kita, tolong jangan sampe komunikasi kita terputus. Aku bakalan maklum sama kesibukan kamu, tapi tolong ya selalu kasih aku kabar?”
Mark menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking ku, “aku janji sesibuk apapun bakalan selalu hubungi kamu.”
Janji itu terekam dengan jelas dalam memori ingatanku hingga detik ini. “Semoga janji kamu masih bisa aku pegang”, batinku.
Kalau ditanya apa alasanku masih tetap sabar, mungkin jawaban yang bisa aku berikan adalah “aku mencintainya.”
Beberapa teman dekatku seringkali mengingatkan kalau LDR tidaklah mudah, komunikasi adalah hal yang harus menjadi prioritas. Awal Mark pindah, kita masih sama layaknya sepasang kekasih yang tidak pernah absen saling mengabari. Namun memasuki dua tahun dirinya menetap disana, aku mulai merasakan kalau Mark mulai berubah. Frekuensi bertukar kabar via messenger saja sudah jarang. Biasanya kita sering video call guna mengobati rindu, tapi sekarang bisa dihitung dua bulan sekali.
Pagi itu suasana kampus tampak cerah. Aku, boun, wanarat, prom, prem, dan yin sedang duduk di kantin menikmati sarapan pagi. Aku bercerita sekilas mengenai bagaimana hubunganku dengan Mark karena yin sempat bertanya. Boun bertanya padaku, “Lu yakin, kalau dia disana punya perasaan yang sama kayak lu? Sekarang gua tanya, udah berapa kali dia bikin lu sakit hati? Berapa kali lu nangis karena dia hilang tanpa kabar? Berapa kali lu kasih dia kesempatan? Dia bahkan gak mikirin gimana rasanya ada di posisi lu.”
Batinku tertawa miris, ada benarnya juga. Aku seringkali dibuat khawatir, aku merindukannya hingga lupa makan. Sikapnya membuatku meragu, apakah dia masih merasakan hal yang sama denganku.
Sudah hampir 3 bulan dia menghilang tanpa kabar. Terakhir kali sebelum menghilang tanpa kabar dia mengirimiku pesan, “Aku kayaknya harus fokus sama studiku. Dua minggu lagi aku ujian. Jadi kayaknya aku bakalan jarang chattan sama kamu. Jaga kesehatan, ya?”
Tidak banyak yang aku tanyakan, aku terlalu takut menekannya. Aku takut kalau dia merasa tidak nyaman. Kala itu, aku berusaha untuk menurunkan ego, hidupnya adalah yang terpenting. Aku akan berusaha memahami dirinya. Lagipula hidupnya tidak melulu perihal diriku, bukan? Setidaknya itu cara terbaik yang bisa aku lakukan.
Di sisi lain, aku sungguh berharap, setidaknya dia memberiku kabar sama halnya denganku. Seringkali orang menganggap bahwa mengirim pesan singkat mengenai hal sederhana merupakan sesuatu yang disepelekan. Aku seringkali memberitahu dirinya mengenai rutinitasku.
Misalnya, “Aku hari ini ujian, doain ya?”, “Hari ini aku ke pemakaman ibu, aku kangen ibu.” Bahkan ada puluhan pesan penyemangat yang aku kirim. Meski tidak tahu apakah akan ia baca atau tidak, setidaknya aku ingin ia tahu kalau aku disini menunggunya kembali. Aku merindukannya, sungguh.
Ekspetasi tidak selalu menjadi realita, bukan? Aku harus menelan fakta menyedihkan bahwa tidak ada satupun kabar yang aku dapatkan. Aku kalut menahan rindu yang tidak dapat dibendung. Aku bingung, tidak ada satupun temannya yang aku kenal untuk sekedar menanyakan kabarnya disana. Kepalaku berisik dipenuhi puluhan macam pertanyaan yang tidak aku dapatkan jawabannya.
“Lu tau gak sih, banyak orang yang gak berhasil ldr? Lu sama dia bukan lagi beda kota, malahan beda benua. Udah tiga bulan dia gak kasih tau keadaan disana gimana. Lu udah pernah tanya dia gak, kali aja dia lagi bosen sama hubungan kalian berdua?”, ucap Wanarat, teman dekat yang selalu menjadi pendengar yang baik, sekaligus sosok yang aku anggap sebagai keluarga.
“Gua udah berapa kali tanya ke dia sebelum dia ngilang gini, tapi dia selalu bilang enggak. Setiap gua tanya, dia malah balik nanya. Ujung-ujungnya cuma gua yang ngutarain apa yang ada di pikiran gua, dia cuma jawab singkat.”
“Berhubung lu gak kenal satupun temen dia disana, satu-satunya cara yang bisa lu lakuin ya nunggu. Positif thinking dulu, fokus sama diri lu. Liat noh, matkul Pak Asep lu udah bolos tiga kali. Jangan sampe lu kacau karena satu orang, masa depan lu panjang.” Ucap Wanarat sembari menepuk pundakku. Benar katanya, aku tidak boleh mengabaikan diri sendiri. Aku akan berusaha untuk membiasakan diri. Percaya kalau ia akan kembali ketika semuanya sudah mulai membaik. Mungkin saat ini dia butuh waktu. Dan saat ia kembali, aku akan membicarakan soal hubungan ini. Entah saling mempertahankan atau saling melepaskan.
Sore itu langit tampak mendung, aku baru saja tiba di pemakaman ibu. Padahal tiga hari yang lalu aku dan ayah berkunjung kesini, namun entah kenapa rasanya duniaku terasa penat sekali. Untuk membuka mata di pagi hari terasa berat. Aku rindu ibu, ingin memeluk ibu dan bercerita tentang hal-hal yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.
Buket bunga anyelir berwarna merah muda yang sedari tadi ada dalam genggaman aku simpan di atas gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan.
Aku duduk di sebelah makam ibu. Pikiranku berkelana ke masa lampau. Sejak aku kecil, ibu suka sekali bunga anyelir. Selain wujudnya yang cantik nan indah, ternyata memiliki arti. Waktu itu aku genap berusia sepuluh tahun, bertanya mengenai bunga kesukaan ibu yang selalu dibawakan oleh ayah sepulang bekerja.
“Bunga anyelir itu ada beberapa warna. Diantara semua warna, ibu paling suka warna merah muda.”
“Bedanya bunga yang warnanya merah muda sama bunga yang warna lain, apa bu?.”
“Warna merah muda melambangkan kasih sayang ibu sepanjang masa. Biasanya ini dipakai saat perayaan hari ibu.”
Aku ber-oh ria. Menyimak dengan seksama kata demi kata yang diucapkan oleh ibu.
“Warna merah terang artinya kalau kita tertarik kepada suatu hal, merah gelap berarti kasih sayang mendalam. Warna putih artinya setia. Tapi tidak semua warna artinya baik, sayang. Ada warna ungu yang artinya kekacauan dan kuning melambangkan kekecewaan. Makanya, banyak orang yang menyesuaikan jenis bunga dan warnanya sesuai dengan tujuannya.”
Tangan lembut ibu mengusap rambutku, diberikannya setangkai bunga anyelir berwarna merah muda padaku. “Seperti sekarang, ibu memberi kamu bunga ini sebagai wujud rasa sayang kepada jagoan kecil ibu.”
Sejak saat itu hingga detik ini aku selalu memberikan ibu bunga anyelir berwarna merah muda.
Sepulang dari pemakaman, aku duduk di atas sofa ruang tamu sambil mengecek handphone, barangkali ada balasan dari Mark, tapi ternyata tidak. Kemudian aku bergegas untuk mandi sebelum mengistirahatkan diri.
Malam ini sama seperti malam sebelumnya, aku bermimpi buruk lagi. Bermimpi tentang Mark dan hubungan ini. Melirik jam di handphone, waktu menunjukkan pukul setengah satu malam. Aku tidak ingin ambil pusing, mungkin mimpi buruk yang sering aku alami karena sedang banyak pikiran. Aku beranjak dari tempat tidur menuju dapur untuk meneguk segelas air putih. Setelah itu, aku kembali merebahkan diri di atas tempat tidur. Aku menenangkan diri sembari memanjatkan doa semoga semua baik-baik saja.
Alarm yang telah di setting pukul lima pagi membangunkan ku. Aku mengubah posisi menjadi duduk untuk mengumpulkan kesadaran. Aku melihat ada notifikasi pesan masuk dari Mark.
sayang
“Perth, masih bangun?”
“Uhm, aku minta maaf karena gak ngasih kamu kabar.”
“Ternyata banyak juga ya chat kamu. Aku gak tau mau balesnya gimana. Aku mau bilang makasih ya karena udah selalu ada disisiku. Makasih karena masih nunggu aku selama ini.”
“Sekali lagi aku minta maaf karena gak bisa tepatin janji buat selalu kasih kabar. Komunikasi yang harusnya berjalan malah terputus.”
Aku menghela napas kasar. Entah harus merasa bahagia karena Mark membalas pesanku, atau sedih karena ekspetasi yang terlampau tinggi atas responnya.
Jari-jariku mulai mengetik balasan.
“Kamu apa kabar? Kemana aja selama ini? Aku khawatir.”
“Aku baik, kamu gimana?”
“Aku akhir-akhir ini lagi capek, mungkin kebanyakan mikir kali ya. Gimana ujiannya? Lancar?”
“Lancar kok.”
“Kamu kenapa belum tidur?”
“Gak tau, aku gak bisa tidur.”
“Aku boleh telpon? Pengen denger suara kamu.”
“Hmm, boleh.“
Aku menekan tombol dial call, selang beberapa detik panggilan langsung tersambung.
“Mark? I really miss you.”
“I miss you too. Maaf ya kemarin gak kasih kabar.”
“Apa ada yang mau diceritain?”
“Uhm, kayaknya gak ada. Aku cuma lagi capek aja.”
“Aku boleh tanya sesuatu?”
“Boleh, mau tanya apa?”
“Ini perasaanku aja atau gimana, aku ngerasa kamu beda. Aku ngerasa....kamu menghindar dari aku. Apa kamu lagi bosen sama hubungan ini?”
“Kenapa kamu mikir gitu?”
“Diliat dari sikap kamu, aku merasa kalau dalam hubungan ini cuma aku yang pengen selalu komunikasi. Kayak cuma aku yang kangen kamu.”
“Perasaan kamu aja kali, aku gak merasa bosen kok.”
“Aku pengen memperjelas aja, kalau kamu bosen atau udah gak punya rasa tolong bilang. Selama kamu gak ada kabar, hampir setiap malem aku mimpi buruk. Aku uring-uringan, aku bingung, aku gak bisa fokus sama banyak hal. Temen-temen aku sampe kewalahan liat sikap aku. Aku mati-matian nahan diri buat gak telpon atau spam chat terlalu banyak, takut ganggu. Aku berusaha keras buat gak mikir macem-macem, aku percaya kamu sepenuhnya....”
Nafasku mulai tercekat, kali ini aku harus mengeluarkan isi hatiku. Mark di seberang sana tidak bergeming, masih menungguku menuntaskan pembicaraan.
“Aku kayak orang sekarat, Mark. Dulu kamu janji buat selalu kasih kabar. Inget hari pertama kita jadian? Kamu bilang kita harus komunikasiin apapun. Tapi faktanya? Hubungan yang komunikasinya gak berjalan itu susah buat dipertahanin. Kita terpisah jarak, gak ada satupun orang yang bisa aku tanyain soal keadaan kamu disana. Aku selalu nanya ke diri sendiri, apa mungkin aku punya salah yang bikin kamu menjauh. Tapi aku gak tau. Aku...capek punya prasangka.”
Mati-matian berusaha menahan air mata hanyalah sia-sia. Kali ini, aku biarkan diriku menangis.
“Perth, aku minta maaf udah bikin kamu nunggu. Aku juga gak paham sama diri sendiri. Maaf atas keegoisanku yang bikin kamu kayak gini. Maaf udah bikin kamu nangis. Maaf karena aku gak nepatin janji kita. A-aku....minta maaf.”
Suara tangisan Mark mulai terdengar diseberang sana, tapi aku terlanjur hancur. Aku terlampau sakit. Yang aku perlukan penjelasan, bukan hanya permintaan maaf. Kali ini aku yakin akan keputusan yang aku renungi dalam satu minggu terakhir, sepertinya akan sia-sia jika tetap mempertahankan hubungan ini.
Setelah suara tangisan mark terdengar samar, aku mulai memberanikan diri.
“Mark, aku rasa kita gak bisa pertahanin hubungan ini. Aku mau berhenti berekspektasi banyak hal. Dan kamu, kayaknya perlu waktu untuk merenungi diri.”
“Aku tau semua ini salahku. Aku gak bisa mencegat keputusan kamu.”
“Sekarang kamu fokus sama impian kamu. Waktu itu kamu bilang gak mau kecewain ayah dan ibu, kan? Kali ini aku berusaha buat lepasin kamu. Makasih buat semua kenangan baik dan buruk, makasih udah izinin aku jadi bagian dari hidup kamu. Maaf, karena aku gak pernah bisa jadi orang yang cukup baik buat kamu. Semoga kamu dikelilingi hal-hal baik, semoga impian kamu tercapai, semoga kamu bisa nemuin orang yang jauh lebih baik. Aku pamit, ya?”
Aku memutuskan telepon secara sepihak, tidak sanggup mendengar kalimat perpisahan dari mulutnya. Membiarkan diriku menangis tanpa suara sembari memukul dada yang terasa sesak.
Selamat tinggal, kenangan. Kalau memang kita ditakdirkan kembali, aku berharap kelak dipertemukan saat kita sudah belajar membenahi diri.