eclipse.

writing is healing♡

haloo semuanya!! sebelumnya gue mau ngasih tau kalau gue/rere/user akun seewhatppe memutuskan untuk close akun ini. buat alasannya gue gue gak bisa kasih tau secara spesifik. mungkin beberapa alasan yang bisa gue kasih tau, gue pengen rehat dulu dari dunia thai fan ini karena pengen lebih fokus sama urusan irl terutama fokus healing dan study. gue minta maaf dari lubuk hati yang paling dalam kalau selama gue pegang akun ini seringkali bikin kalian gak nyaman, tersinggung atau menyakiti kalian tanpa disadari.

gue bersyukur bisa kenal sama kalian yang baik banget, nemenin gue lewatin 2020 yang sebenernya lumayan berat tapi berasa lebih baik lewatin bareng ketimbang sendirian. gue belajar banyak hal dari kalian semua. terima kasih udah mau jadi mutual gue dan memaklumi segala kekurangan gue. akun ini gak bakalan dihapus, akan gue jadikan arsip tulisan dan kenangan gue sebagai rere. gak menutup kemungkinan gue balik lagi ke akun ini atau pindah akun (tapi ini gak tau beneran atau enggak, gue cuma berandai-andai hehe.)

gue selalu berharap semoga kalian bahagia dan sehat terus, juga hal-hal baik selalu menyertai kalian. bagi yang punya kontak gue (wa/acc lain) dan kepingin ngobrol, boleh banget jangan sungkan. gue juga berusaha luangin waktu buat komunikasi. gue ada di akun lain, cuma mungkin gak seaktif biasanya. sekali lagi terima kasih buat semua kebaikan kalian. mohon doanya ya semua, semoga segala urusan gue bisa dikasih kelancaran. see youuu!!🖤

manusia terlahir dengan berbagai keunikan. dengan beragam karakter dan latar belakang. jalan hidup yang tidak bisa disamakan satu dengan lainnya.

ada yang suka berbicara mengungkapkan rasa, ada juga yang memilih diam seribu bahasa. sebagai orang yang senantiasa meminjamkan telinga bagi mereka yang perlu tempat untuk bercerita, ada kalanya mereka memilih untuk memendam dan itu membuatku merasa kalau eksistensiku tidak cukup membuat mereka nyaman. “bukan salah kamu. mungkin ada hal yang tidak bisa diceritakan dan hanya perlu disimpan sendiri, bukan?” kalimat itu selalu aku tanamkan dalam pikiranku. menjadi sempurna, tidak ada satupun manusia yang bisa. bahkan sekelas idol saja punya celah.

kepalaku memang selalu berisik tanpa tahu tempat. terlebih lagi ketika sendiri di tempat yang nyaman, aku akan larut dengan puluhan pertanyaan yang terkadang tidak ada jawaban. ketika dunia terasa jauh lebih keras daripada biasanya, aku akan memilih untuk mengambil space dan menenangkan diri. dan tempat ternyaman sejauh ini adalah di atas rooftop yang penuh dengan kenangan.

untuk pertama kalinya aku berlari sembari menangis, fase hidup paling menyakitkan yang harus aku hadapi. putus asa, tidak ada seorangpun yang aku miliki di dunia ini. rasanya kosong. hampa. rumah yang semula merupakan satu-satunya tempat aman untuk mengistirahatkan diriku dari penatnya rutinitas perkuliahan justru menjadi tempat yang memberiku ingatan paling buruk.

percakapan mereka terngiang dengan jelas bahwa aku hanyalah beban bagi keluarga. semua yang mereka lakukan selama ini.

aku tidak tahu kemana arah langkah kaki membawa, hanya mengikuti insting. aku tidak ingin pulang, setidaknya malam ini izinkan aku untuk menetralisir diri.

aku butuh tempat yang tenang. tanpa sadar aku berjalan masuk dan menaiki tangga sebuah gedung, sepertinya tidak terpakai lagi.

hingga akhirnya sampai ke bagian paling atas, terdapat pintu besi yang setengah terbuka. aku melangkah dengan ragu, mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. saat melewati pintu itu, semilir angin menerpa rambutku yang terurai. mataku melihat ke sekeliling, tuhan, semoga aku selamat.

aku mengernyitkan mata, di kejauhan terlihat ada seseorang namun tidak tampak jelas karena jarak. ada seorang perempuan yang sedang menari di tepi rooftop. tidak berani menghampiri, aku terpaku dengan suguhan tarian yang sangat indah. mulutku menganga saking terpesonanya.

aku tidak sadar bahwa tariannya telah berakhir, perempuan itu berteriak dari arahnya “hei, kamu ngapain disitu?”

suasana cafetaria itu terpantau ramai. memang sudah biasa orang-orang menghabiskan malam minggu

Tumbuh membaru.

Inspirasi ini aku tuangkan pada hari Minggu, 6 Desember 2020 15:53 WIB.


Usiaku dalam dua bulan lagi akan menginjak 21 Tahun, yang berarti masa remaja sudah aku lewati.

Jika disandingkan dengan kisah hidup diluaran sana, nampaknya ceritaku tidak ada apa-apanya. Hidup mereka yang penuh dengan hal-hal manis dan baik, jauh lebih baik dibanding dengan hidupku. Hidup mereka yang penuh nestapa, mungkin jauh lebih melelahkan dibanding milikku.

Tapi ya, sebaik atau seburuk apapun hidup ini milikku. Aku adalah pemeran utamanya. Aku si pemilik kontrol paling besar dalam siklus hidupku. Rasa syukur selalu aku panjatkan kepada Sang Pencipta karena meskipun masa kecil penuh hal traumatis itu sudah terlewati, setidaknya aku masih dapat menghirup oksigen yang meski mulai terkikis jumlahnya akibat lapisan ozon yang kian menipis.

Hidup pada hakikatnya tidak selalu dipenuhi hal cantik, tidak jarang pula diisi dengan hal-hal sedih yang menggelitik.

Tumbuh membaru.

Inspirasi ini aku tuangkan pada hari Minggu, 6 Desember 2020 15:53 WIB.


Usiaku dalam dua bulan lagi akan menginjak 21 Tahun, yang berarti masa remaja sudah aku lewati.

Jika disandingkan dengan cerita hidup orang diluaran sana, nampaknya ceritaku tidak ada apa-apanya. Hidup mereka yang penuh dengan hal-hal manis dan baik, jauh lebih baik dibanding dengan hidupku. Hidup mereka yang penuh nestapa, mungkin jauh lebih melelahkan dibanding milikku. Tapi ya, sebaik atau seburuk apapun hidup ini milikku. Masa kecil penuh dengan hal traumatis itu sudah terlewati, setidaknya aku masih dapat menghirup oksigen yang meskipun mulai terkikis jumlahnya karena lapisan ozon yang kian menipis.

Hidup pada hakikatnya tidak selalu dipenuhi hal cantik, tidak jarang pula diiai dengan hal-hal sedih yang menggelitik.

Di dalam diri manusia, ada banyak hal yang tidak pernah bisa kita pahami. Tentang perasaan dimana kita tidak pernah merasa cukup atas segala kepunyaan dan upaya. Adakalanya merasa tidak pantas mendapatkan hal baik dan memilih untuk mengambil jarak, meski tau diri kita tidak kuasa menahan rindu. Dan terkadang, kita mengesampingkan rasionalitas hanya karena memenuhi keinginan untuk pergi. Bukan karena mereka tidak pantas. Bukan karena mereka jahat, hanya saja kita takut hanya menjadi beban. Anehnya, perasaan itu terasa semu namun terlampau kuat.

Kosong, hampa. Perasaan yang seringkali kau rasakan itu bukannya menghilang, justru menghampirimu pada waktu yang tidak kau pernah duga.

Pernahkah kau ada di posisi ingin meninggalkan semua orang hanya karena kau merasa bahwa presensimu hanyalah beban?

Pernahkah kau merasa bahwa dunia terlalu baik kepadamu yang selalu berburuk sangka atas takdir Yang Maha Kuasa?

Pernahkah kau merasa segala upaya yang telah dikerahkan hingga membuatmu berjalan tertatih, terseok, hanyalah berakhir sia-sia? Dan kau, tidak pernah merasa puas atas setiap perubahan yang telah kau capai hingga detik ini.

“Bersyukur, hidupmu tidak sengsara. Tidak perlu merasa nestapa. Kamu punya rumah untuk beristirahat dari penatnya rutinitas, kamu tidak perlu mengantri di transportasi umum, punya ayah dan ibu yang sayang, tidak perlu merasakan sulitnya memenuhi kebutuhan pokok.”

Hingga detik ini aku seringkali bertanya kepada orang di sekitarku, menonton berbagai macam video social experience, bahkan aku membaca autobiografi dari banyak orang. “Sebetulnya apa sih arti bersyukur itu?”

Aku tahu, tanpa perlu diingatkan ratusan kali pun aku selalu berusaha untuk mensyukuri segala hal yang telah aku miliki.

Aku tanpa diminta pun selalu berusaha untuk bersyukur. Setiap saat aku merafalkan do'a baik kepada Tuhan. Aku mengagungkan-Nya, sujud syukur atas nikmat yang telah aku rasakan. Namun, selalu ada saat dimana aku kembali merasa kurang. Seperti ada bagian dalam diriku yang pergi entah kemana. Seperti terlalu banyak ruang dalam diriku yang aku biarkan kosong.

uhm..hai? berhubung kamu gak bales whatsapp aku, aku mau nulis lewat ini buat utarain isi hati aku. terserah kamu mau kasih feedback atau enggak, aku kepingin merasa lega.

aku gak tau apa alasan kamu bersikap kayak gini. dua minggu waktu aku habiskan untuk mikirin berbagai kemungkinan karna sikap kamu yang berubah, tapi aku gak menemukan titik temu. aku mau kasih tau kalau aku butuh penjelasan. aku ingin tau alasan kamu apa. apakah semua hal ini karena salahku? apa aku gak sadar akan itu? atau kamu yang emang gak mau buat pertahanin kita tapi gak mau bilang dan milih untuk sembunyi?

aku tau i'm not good enough, sikap kamu begini setelah aku ceritain soal mental health aku seolah ngeyakinin kalau emang aku gak pantes dapetin banyak hal, aku berpikir kalau alasan kamu berubah salah satunya karena capek sama aku yang begini. awal jadian kamu bilang apa? komunikasi? tapi kenapa kamu lari? kenapa kamu ngehide kabar kamu dari aku? kenapa, kenapa, dan kenapa. kepala aku penuh sama banyak pertanyaan yang jawabannya gak pernah aku dapet.

Kata orang, cinta tidak harus memiliki. Bagi mereka yang berhati lapang, mengikhlaskan adalah sebuah keharusan tatkala mempertahankan menjadi hal yang menyulitkan.

Namun aku memilih untuk mempertahankan sesuatu yang sepertinya tak lagi terasa sama. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sepasang insan dalam menjalin hubungan. Terlebih aku dan Mark menjalani Long Distance Relationship, dan itu bukan perkara yang mudah. Kita sudah menjalin hubungan sejak kelas 11. Setelah lulus, ia mengikuti kehendak orang tuanya untuk melanjutkan studi di London, sedangkan aku melanjutkan studi di salah satu Universitas impianku.

Sebelum keberangkatannya, kita menghabiskan waktu bersama dan berbincang mengenai hubungan kita.

“Perth, menurut kamu apa kita sanggup ldr?”

“Mark, aku gak permasalahin jarak. Aku cuma minta satu hal, karena kita udah mutusin untuk tetap lanjutin hubungan kita, tolong jangan sampe komunikasi kita terputus. Aku bakalan maklum sama kesibukan kamu, tapi tolong ya selalu kasih aku kabar?”

Mark menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking ku, “aku janji sesibuk apapun bakalan selalu hubungi kamu.”

Janji itu terekam dengan jelas dalam memori ingatanku hingga detik ini. “Semoga janji kamu masih bisa aku pegang”, batinku.

Kalau ditanya apa alasanku masih tetap sabar, mungkin jawaban yang bisa aku berikan adalah “aku mencintainya.”

Beberapa teman dekatku seringkali mengingatkan kalau LDR tidaklah mudah, komunikasi adalah hal yang harus menjadi prioritas. Awal Mark pindah, kita masih sama layaknya sepasang kekasih yang tidak pernah absen saling mengabari. Namun memasuki dua tahun dirinya menetap disana, aku mulai merasakan kalau Mark mulai berubah. Frekuensi bertukar kabar via messenger saja sudah jarang. Biasanya kita sering video call guna mengobati rindu, tapi sekarang bisa dihitung dua bulan sekali.


Pagi itu suasana kampus tampak cerah. Aku, boun, wanarat, prom, prem, dan yin sedang duduk di kantin menikmati sarapan pagi. Aku bercerita sekilas mengenai bagaimana hubunganku dengan Mark karena yin sempat bertanya. Boun bertanya padaku, “Lu yakin, kalau dia disana punya perasaan yang sama kayak lu? Sekarang gua tanya, udah berapa kali dia bikin lu sakit hati? Berapa kali lu nangis karena dia hilang tanpa kabar? Berapa kali lu kasih dia kesempatan? Dia bahkan gak mikirin gimana rasanya ada di posisi lu.”

Batinku tertawa miris, ada benarnya juga. Aku seringkali dibuat khawatir, aku merindukannya hingga lupa makan. Sikapnya membuatku meragu, apakah dia masih merasakan hal yang sama denganku.


Sudah hampir 3 bulan dia menghilang tanpa kabar. Terakhir kali sebelum menghilang tanpa kabar dia mengirimiku pesan, “Aku kayaknya harus fokus sama studiku. Dua minggu lagi aku ujian. Jadi kayaknya aku bakalan jarang chattan sama kamu. Jaga kesehatan, ya?”

Tidak banyak yang aku tanyakan, aku terlalu takut menekannya. Aku takut kalau dia merasa tidak nyaman. Kala itu, aku berusaha untuk menurunkan ego, hidupnya adalah yang terpenting. Aku akan berusaha memahami dirinya. Lagipula hidupnya tidak melulu perihal diriku, bukan? Setidaknya itu cara terbaik yang bisa aku lakukan.

Di sisi lain, aku sungguh berharap, setidaknya dia memberiku kabar sama halnya denganku. Seringkali orang menganggap bahwa mengirim pesan singkat mengenai hal sederhana merupakan sesuatu yang disepelekan. Aku seringkali memberitahu dirinya mengenai rutinitasku.

Misalnya, “Aku hari ini ujian, doain ya?”, “Hari ini aku ke pemakaman ibu, aku kangen ibu.” Bahkan ada puluhan pesan penyemangat yang aku kirim. Meski tidak tahu apakah akan ia baca atau tidak, setidaknya aku ingin ia tahu kalau aku disini menunggunya kembali. Aku merindukannya, sungguh.

Ekspetasi tidak selalu menjadi realita, bukan? Aku harus menelan fakta menyedihkan bahwa tidak ada satupun kabar yang aku dapatkan. Aku kalut menahan rindu yang tidak dapat dibendung. Aku bingung, tidak ada satupun temannya yang aku kenal untuk sekedar menanyakan kabarnya disana. Kepalaku berisik dipenuhi puluhan macam pertanyaan yang tidak aku dapatkan jawabannya.

“Lu tau gak sih, banyak orang yang gak berhasil ldr? Lu sama dia bukan lagi beda kota, malahan beda benua. Udah tiga bulan dia gak kasih tau keadaan disana gimana. Lu udah pernah tanya dia gak, kali aja dia lagi bosen sama hubungan kalian berdua?”, ucap Wanarat, teman dekat yang selalu menjadi pendengar yang baik, sekaligus sosok yang aku anggap sebagai keluarga.

“Gua udah berapa kali tanya ke dia sebelum dia ngilang gini, tapi dia selalu bilang enggak. Setiap gua tanya, dia malah balik nanya. Ujung-ujungnya cuma gua yang ngutarain apa yang ada di pikiran gua, dia cuma jawab singkat.”

“Berhubung lu gak kenal satupun temen dia disana, satu-satunya cara yang bisa lu lakuin ya nunggu. Positif thinking dulu, fokus sama diri lu. Liat noh, matkul Pak Asep lu udah bolos tiga kali. Jangan sampe lu kacau karena satu orang, masa depan lu panjang.” Ucap Wanarat sembari menepuk pundakku. Benar katanya, aku tidak boleh mengabaikan diri sendiri. Aku akan berusaha untuk membiasakan diri. Percaya kalau ia akan kembali ketika semuanya sudah mulai membaik. Mungkin saat ini dia butuh waktu. Dan saat ia kembali, aku akan membicarakan soal hubungan ini. Entah saling mempertahankan atau saling melepaskan.


Sore itu langit tampak mendung, aku baru saja tiba di pemakaman ibu. Padahal tiga hari yang lalu aku dan ayah berkunjung kesini, namun entah kenapa rasanya duniaku terasa penat sekali. Untuk membuka mata di pagi hari terasa berat. Aku rindu ibu, ingin memeluk ibu dan bercerita tentang hal-hal yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.

Buket bunga anyelir berwarna merah muda yang sedari tadi ada dalam genggaman aku simpan di atas gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan.

Aku duduk di sebelah makam ibu. Pikiranku berkelana ke masa lampau. Sejak aku kecil, ibu suka sekali bunga anyelir. Selain wujudnya yang cantik nan indah, ternyata memiliki arti. Waktu itu aku genap berusia sepuluh tahun, bertanya mengenai bunga kesukaan ibu yang selalu dibawakan oleh ayah sepulang bekerja.

“Bunga anyelir itu ada beberapa warna. Diantara semua warna, ibu paling suka warna merah muda.”

“Bedanya bunga yang warnanya merah muda sama bunga yang warna lain, apa bu?.”

“Warna merah muda melambangkan kasih sayang ibu sepanjang masa. Biasanya ini dipakai saat perayaan hari ibu.”

Aku ber-oh ria. Menyimak dengan seksama kata demi kata yang diucapkan oleh ibu.

“Warna merah terang artinya kalau kita tertarik kepada suatu hal, merah gelap berarti kasih sayang mendalam. Warna putih artinya setia. Tapi tidak semua warna artinya baik, sayang. Ada warna ungu yang artinya kekacauan dan kuning melambangkan kekecewaan. Makanya, banyak orang yang menyesuaikan jenis bunga dan warnanya sesuai dengan tujuannya.”

Tangan lembut ibu mengusap rambutku, diberikannya setangkai bunga anyelir berwarna merah muda padaku. “Seperti sekarang, ibu memberi kamu bunga ini sebagai wujud rasa sayang kepada jagoan kecil ibu.”

Sejak saat itu hingga detik ini aku selalu memberikan ibu bunga anyelir berwarna merah muda.

Sepulang dari pemakaman, aku duduk di atas sofa ruang tamu sambil mengecek handphone, barangkali ada balasan dari Mark, tapi ternyata tidak. Kemudian aku bergegas untuk mandi sebelum mengistirahatkan diri.

Malam ini sama seperti malam sebelumnya, aku bermimpi buruk lagi. Bermimpi tentang Mark dan hubungan ini. Melirik jam di handphone, waktu menunjukkan pukul setengah satu malam. Aku tidak ingin ambil pusing, mungkin mimpi buruk yang sering aku alami karena sedang banyak pikiran. Aku beranjak dari tempat tidur menuju dapur untuk meneguk segelas air putih. Setelah itu, aku kembali merebahkan diri di atas tempat tidur. Aku menenangkan diri sembari memanjatkan doa semoga semua baik-baik saja.

Alarm yang telah di setting pukul lima pagi membangunkan ku. Aku mengubah posisi menjadi duduk untuk mengumpulkan kesadaran. Aku melihat ada notifikasi pesan masuk dari Mark.

sayang

“Perth, masih bangun?”

“Uhm, aku minta maaf karena gak ngasih kamu kabar.”

“Ternyata banyak juga ya chat kamu. Aku gak tau mau balesnya gimana. Aku mau bilang makasih ya karena udah selalu ada disisiku. Makasih karena masih nunggu aku selama ini.”

“Sekali lagi aku minta maaf karena gak bisa tepatin janji buat selalu kasih kabar. Komunikasi yang harusnya berjalan malah terputus.”

Aku menghela napas kasar. Entah harus merasa bahagia karena Mark membalas pesanku, atau sedih karena ekspetasi yang terlampau tinggi atas responnya.

Jari-jariku mulai mengetik balasan.

“Kamu apa kabar? Kemana aja selama ini? Aku khawatir.”

“Aku baik, kamu gimana?”

“Aku akhir-akhir ini lagi capek, mungkin kebanyakan mikir kali ya. Gimana ujiannya? Lancar?”

“Lancar kok.”

“Kamu kenapa belum tidur?”

“Gak tau, aku gak bisa tidur.”

“Aku boleh telpon? Pengen denger suara kamu.”

“Hmm, boleh.

Aku menekan tombol dial call, selang beberapa detik panggilan langsung tersambung.

“Mark? I really miss you.”

“I miss you too. Maaf ya kemarin gak kasih kabar.”

“Apa ada yang mau diceritain?”

“Uhm, kayaknya gak ada. Aku cuma lagi capek aja.”

“Aku boleh tanya sesuatu?”

“Boleh, mau tanya apa?”

“Ini perasaanku aja atau gimana, aku ngerasa kamu beda. Aku ngerasa....kamu menghindar dari aku. Apa kamu lagi bosen sama hubungan ini?”

“Kenapa kamu mikir gitu?”

“Diliat dari sikap kamu, aku merasa kalau dalam hubungan ini cuma aku yang pengen selalu komunikasi. Kayak cuma aku yang kangen kamu.”

“Perasaan kamu aja kali, aku gak merasa bosen kok.”

“Aku pengen memperjelas aja, kalau kamu bosen atau udah gak punya rasa tolong bilang. Selama kamu gak ada kabar, hampir setiap malem aku mimpi buruk. Aku uring-uringan, aku bingung, aku gak bisa fokus sama banyak hal. Temen-temen aku sampe kewalahan liat sikap aku. Aku mati-matian nahan diri buat gak telpon atau spam chat terlalu banyak, takut ganggu. Aku berusaha keras buat gak mikir macem-macem, aku percaya kamu sepenuhnya....”

Nafasku mulai tercekat, kali ini aku harus mengeluarkan isi hatiku. Mark di seberang sana tidak bergeming, masih menungguku menuntaskan pembicaraan.

“Aku kayak orang sekarat, Mark. Dulu kamu janji buat selalu kasih kabar. Inget hari pertama kita jadian? Kamu bilang kita harus komunikasiin apapun. Tapi faktanya? Hubungan yang komunikasinya gak berjalan itu susah buat dipertahanin. Kita terpisah jarak, gak ada satupun orang yang bisa aku tanyain soal keadaan kamu disana. Aku selalu nanya ke diri sendiri, apa mungkin aku punya salah yang bikin kamu menjauh. Tapi aku gak tau. Aku...capek punya prasangka.”

Mati-matian berusaha menahan air mata hanyalah sia-sia. Kali ini, aku biarkan diriku menangis.

“Perth, aku minta maaf udah bikin kamu nunggu. Aku juga gak paham sama diri sendiri. Maaf atas keegoisanku yang bikin kamu kayak gini. Maaf udah bikin kamu nangis. Maaf karena aku gak nepatin janji kita. A-aku....minta maaf.”

Suara tangisan Mark mulai terdengar diseberang sana, tapi aku terlanjur hancur. Aku terlampau sakit. Yang aku perlukan penjelasan, bukan hanya permintaan maaf. Kali ini aku yakin akan keputusan yang aku renungi dalam satu minggu terakhir, sepertinya akan sia-sia jika tetap mempertahankan hubungan ini.

Setelah suara tangisan mark terdengar samar, aku mulai memberanikan diri.

“Mark, aku rasa kita gak bisa pertahanin hubungan ini. Aku mau berhenti berekspektasi banyak hal. Dan kamu, kayaknya perlu waktu untuk merenungi diri.”

“Aku tau semua ini salahku. Aku gak bisa mencegat keputusan kamu.”

“Sekarang kamu fokus sama impian kamu. Waktu itu kamu bilang gak mau kecewain ayah dan ibu, kan? Kali ini aku berusaha buat lepasin kamu. Makasih buat semua kenangan baik dan buruk, makasih udah izinin aku jadi bagian dari hidup kamu. Maaf, karena aku gak pernah bisa jadi orang yang cukup baik buat kamu. Semoga kamu dikelilingi hal-hal baik, semoga impian kamu tercapai, semoga kamu bisa nemuin orang yang jauh lebih baik. Aku pamit, ya?”

Aku memutuskan telepon secara sepihak, tidak sanggup mendengar kalimat perpisahan dari mulutnya. Membiarkan diriku menangis tanpa suara sembari memukul dada yang terasa sesak.

Selamat tinggal, kenangan. Kalau memang kita ditakdirkan kembali, aku berharap kelak dipertemukan saat kita sudah belajar membenahi diri.

  • fin.

Krit, maaf karena sudah memaksamu mengikuti permintaanku. Aku telah menempatkanmu pada posisi serba salah.

Sesungguhnya aku ingin bertahan, menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Aku ingin kita berjuang menepati janji untuk selalu bersama. Tidur nyenyak dalam pelukanmu, memberikanmu banyak cinta, menciummu, membuatkanmu secangir milo setiap paginya, melihat senyummu, ada disisimu ketika semesta sedang tidak baik-baik saja.

Namun, ada banyak pertimbangan yang aku pikirkan sebelum mengambil keputusan ini. Bukan karena aku tidak sanggup menahan sakit, sungguh. Aku telah menjadi beban bagimu, bagi banyak orang. Kau tahu, setiap saat aku memikirkan kemungkinan terburuk apa yang akan terjadi dalam hitungan menit.

Ketika itu, aku mendengar bahwa aku masuk ke dalam prioritas orang yang diizinkan untuk naik ke perahu. Aku merasa terbebani dengan kondisiku yang kian hari kian parah—bahkan hanya ada sedikit peluang untuk sembuh, seharusnya posisiku diisi oleh mereka yang memiliki peluang hidup jauh lebih besar.

Kalau dilihat dari berbagai sudut pandang pun, keputusanku ini salah. Harusnya aku tidak melibatkanmu. Maaf Krit, aku memang bodoh. Tapi tolong ya, aku harap kamu mengerti sedikit saja bahwa ada diposisiku ini sangat menyiksa.

Aku sedih karena harus berpisah denganmu. Keputusanku ini menggagalkan kita untuk hidup bersama. Satu hal yang harus kau tau

Semilir angin terasa seperti hembusan nafasmu tatkala kita menikmati waktu hingga fajar berganti. Aku memilih duduk di atas pasir, merengkuh tubuhku sendiri dalam heningnya malam. Hanyut dalam pikiranku yang sama berisiknya dengan deburan ombak menabrak karang.

Aku merenungi keputusan yang telah aku ambil. Katakanlah aku manusia paling bodoh di muka bumi ini, kekasih yang tidak becus. Harusnya aku menahanmu. Harusnya aku meyakinkan dirimu untuk bertahan sedikit lebih lama dan mengantarkanmu ke fasilitas kesehatan terdekat, bersama dengan perahu yang membawa sebagian orang terdampar disini.

Aku memukul kepalaku dengan kedua tangan, sementara dadaku terasa sesak hingga tak bisa mengeluarkan suara.

Brengsek kau, Krit. Kepalaku tidak berhenti merutuki betapa bajingannya diriku yang memilih untuk menuruti permintaan terakhir Jack. Sebagai seorang kekasih yang mencintai dengan sepenuh hati, bukankah sudah tugasku untuk meyakinkan Jack? Harusnya malam itu aku merengkuh Jack sembari mengusap punggungnya sebagai distraksi. Harusnya aku meyakinkan Jack untuk bertahan lebih lama.

Awalnya aku berpikir kalau permintaan Jack masuk diakal. Aku pun tidak ingin melihatnya menderita menahan sakit. Akan tetapi kalau berpikir realistis, dengan memberi beberapa butir midazolam itu berarti dirinya akan kehilangan Jack untuk selamanya sebelum berjuang hingga titik akhir.

“Maaf, aku tidak seharusnya membunuhmu. Maaf, aku tidak seharusnya membiarkanmu menyerah. Maaf, aku tidak bisa menepati janji untuk bisa membawamu berobat. Maaf...aku memang kekasih yang tidak becus menjagamu. A-aku....” Aku tidak bisa membendung air mata, aku terisak hingga tubuhku gemetar.

Benar kata orang, penyesalan datang di akhir. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana diriku bisa mengikhlaskan kepergian Jack? Bagaimana bisa aku melanjutkan hidup dalam penyesalan? Bagaimana bisa aku tetap hidup, sementara aku telah membunuh Jack? Sangat sulit untuk menerima fakta bahwa baik aku maupun Jack tidak bisa merealisasikan rencana untuk hidup bahagia bersama. Aku bahkan tidak perduli kalau seisi dunia menyalahkan dan menghukum diriku. Aku siap akan konsekuensi itu. Aku justru tidak sanggup bertahan hidup dalam penyesalan karena membiarkan orang yang sangat aku cintai mengakhiri hidup karena aku gagal meyakinkannya.

Memang betul, aku bukanlah seorang yang agamis, bahkan aku tidak percaya akan eksistensi Tuhan. Namun, kali ini aku ingin sekali saja berharap kepada Tuhan yang mereka yakini dengan bersungguh-sungguh. Semoga diriku dan Jack dipersatukan di semesta lain, entah dalam wujud lain atau Tuhan berbaik hati mengembalikan Jack.